Sabtu, 21 November 2009

motivasi mario teguh

Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan
bila anda sedang takut, jangan terlalu takut.
Karena keseimbangan sikap adalah penentu
ketepatan perjalanan kesuksesan anda

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba
itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil

Anda hanya dekat dengan mereka yang anda
sukai. Dan seringkali anda menghindari orang
yang tidak tidak anda sukai, padahal dari dialah
Anda akan mengenal sudut pandang yang baru

Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi
pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus
belajar, akan menjadi pemilik masa depan

Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi
pencapaian kecemerlangan hidup yang di
idamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa
kesenangan adalah cara gembira menuju
kegagalan

Jangan menolak perubahan hanya karena anda
takut kehilangan yang telah dimiliki, karena
dengannya anda merendahkan nilai yang bisa
anda capai melalui perubahan itu

Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila
anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara
lama anda. Anda akan disebut baru, hanya bila
cara-cara anda baru

Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan.
Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap
anda tepat, dan tidak ada yang bisa menolong
bila sikap anda salah

Orang lanjut usia yang berorientasi pada
kesempatan adalah orang muda yang tidak
pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi
pada keamanan, telah menua sejak muda

Hanya orang takut yang bisa berani, karena
keberanian adalah melakukan sesuatu yang
ditakutinya. Maka, bila merasa takut, anda akan
punya kesempatan untuk bersikap berani

Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan
stress adalah kemampuan memilih pikiran yang
tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang
anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.

Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui
mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan
tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan
yang kemudian anda dapat

Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara
kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku
seperti orang yang terus memeras jerami untuk
mendapatkan santan

Bila anda belum menemkan pekerjaan yang sesuai
dengan bakat anda, bakatilah apapun pekerjaan
anda sekarang. Anda akan tampil secemerlang
yang berbakat

Kita lebih menghormati orang miskin yang berani
daripada orang kaya yang penakut. Karena
sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa
depan yang akan mereka capai

Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita
ketahui, kapankah kita akan mendapat
pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum
kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan

Jangan hanya menghindari yang tidak mungkin.
Dengan mencoba sesuatu yang tidak
mungkin,anda akan bisa mencapai yang terbaik
dari yang mungkin anda capai.

Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup
adalah membiarkan pikiran yang cemerlang
menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang
mendahulukan istirahat sebelum lelah.

Bila anda mencari uang, anda akan dipaksa
mengupayakan pelayanan yang terbaik.
Tetapi jika anda mengutamakan pelayanan yang
baik, maka andalah yang akan dicari uang

Waktu ,mengubah semua hal, kecuali kita. Kita
mungkin menua dengan berjalanannya waktu,
tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus
mengubah diri kita sendiri

Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk
melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi
orang tua yang masih melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan saat muda.

Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat
berharga. Memilik waktu tidak menjadikan kita
kaya, tetapi menggunakannya dengan baik
adalah sumber dari semua kekayaan

Baca selanjutnya »»

Sabtu, 14 November 2009

Penyakit Hati

Al-Imam Ibnu Abil 'Izzi
Pengantar:
Untuk sedikit menambah pengetahuan kita tentang penyakit hati, berikut ini akan saya kutipkan risalah dari buku "Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah..." karya Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunaimi. Akan tetapi, barangkali risalah itu sendiri lebih tepat disebut karya Al-Imam Ibnu Abil 'Izzi, karena beliaulah yang menulisnya sebagai syarh (penjelasan) dari kitab Aqidah yang disusun oleh Imam Ath-Thahawi yang dikenal dengan kitab "Aqidah Thahawiyah". Sedang Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunami adalah yang melakukan tahdzib (penataan ulang). Semoga bermanfaat. Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh.
Allah berfirman, artinya:
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya." (Al-An'am : 122)

Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Dua Bentuk Penyakit Hati:


Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an.
Allah berfirman, artinya:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.

Allah juga berfirman, artinya:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..." (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
"Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)." (At-Taubah : 125)

Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya.

Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati." *). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya, berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi. Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan. Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat, yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor, ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada teman, dan takut sendirian.

Menyembuhkan Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat:

Gejala penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat.
Sesungguhnya Allah berfirman:
"Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh." (Fushshilat : 44)

Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.

*) [Penggalan akhir bait sya'ir Al-Mutanabbi, yang mana penggalan awalnya adalah: "Orang yang hina, akan mudah mendapat kehinaan"]

Dikutip dari: Abdul Akhir Hammad Alghunaimi, "Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah Dasar-dasar 'Aqidah Menurut Ulama Salaf", penerjemah: Abu Umar Basyir Al-Medani, Pustaka At-Tibyan, buku 2, Cetakan I, 2000, hal 264-266
Baca selanjutnya »»

Sial 13

(Oleh : Syaikh Al Munajid)

Segala Puji bagi Allah. seorang muslim yang mengimani Tuhannya dan Islam sebagai agamanya, dan mengimani Muhammad SAW sebagai nabi dan Rasulnya juga beriman terhadap Qodar baik dan buruknya,Tidak layak untuk meyakini adanya pengaruh tertentu dari suatu dzat atau sifat selain Allah, bahwa hal tersebut bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, padahal tidak diajarkan. Dalam agama (syara), tetapi hal itu hanya merupakan warisan jahiliyah yang sudah dibatalkan Islam, dan kepercayaan semacam itu merupakan perbuatan musyrik yang menghilangkan kesempurnaan tauhid karena hal itu hanyalah bujukan syetan dan buaiannya. Seperti yang dicontohkan Allah tentang keluarga Fir'aun dalam firmannya :

"Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran(kebajikan) mereka berkata : "ini adalah karena(usaha kami)" dan jika mereka ditimpa kesusahan mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya." (QS Al-A'raf : 31)

Mereka itu kalau ditimpa musibah
atau paceklik mereka lemparkan kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang menyertainya dari orang-orang mukmin, kemudian Allah menjawab kesialan mereka itu dengan firmannya :

"…ketauhilah sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah"

Ibnu Abbas Radhiyallaahu anhu berkata: artinya adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan bagi mereka. Maka kesialan mereka itu adalah karena kekufuran mereka dan karena mereka mendustai ayat-ayat Allah dan RasulNya. terdapat beberapa hadits yang melarang untuk merasa sial atau tathayur dengan sesuatu, Tathayur ini pada mulanya adalah merasa sial pada sebagian burung, tapi kemudian menjadi tanda bagi segala sesuatu yang disialkan, diantaranya seperti yang terdapat pada hadits Abu Hurairah semoga Allah meridhainya. Bahwasanya Nabi SAW bersabda:

" Tidak ada Adwa, thiarah, hamah dan shafar " (HR. Bukhari muslim )

dan Muslim menambahkan dalam riwayatnya

" dan tidak ada nau dan Ghaul "

Maka Nabi SAW melarang Adwa (penularan penyakit ) yang sudah menjadi anggapan orang-orang jahiliyah dalam menyandarkan penyakit kepada selain Allah, dan bahwa penyakit itu terjangkit atau menular dengan sendirinya tanpa kehendak dan takdir Allah ta'ala, lantas Nabi mengkhabarkan bahwa semua itu terjadi atas kehendak dan takdir Allah Ta'ala dan seorang hamba diperintah untuk menjauhi sebab-sebab kejahatan dan mencari keselamatan. Perkataan Nabi SAW :

"Tidak ada Shafar"

maksudnya seperti pendapat salah satu dua pendapat ulama yaitu "Bulan Shafar" dimana orang-orang jahiliyah menganggap sial dengan bulan itu, seperti kata Muhammad bin Rasyid dari orang yang pernah mendengarnya berkata:

"Adalah orang-orang jahiliyah merasa sial dengan bulan shafar, mereka mengatakan bahwa bulan shafar adalah bulan yang membawa kesialan tidak menguntungkan, maka nabi membatalkan semua itu.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

"Merasa sial dengan bulan shafar termasuk jenis thiyarah yang terlarang, demikian pula merasa sial dengan sebagian hari seperti dengan hari Rabu. Dan orang-orang jahiliyah menganggap sial terhadap bulan Syawal khususnya dalam pernikahan."

Dan tidak diragukan lagi bahwa menganggap sial dengan angka 13 seperti pertanyaan diatas adalah termasuk jenis thiyarah, yang tidak ada keterangan satu dalil pun baik dari Al-qur'an ataupun Sunnah yang menjelaskan bahwa pada angka(hari) tsb ada sebab-sebab kesialan, atau ketidak beruntungan. Hari itu adalah hari biasa seperti hari-hari lainnya. Adapun kejadian-kejadian yang terjadi pada hari itu adalah berdasarkan ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk terjadi dengan cara seperti itu.

Andaikan setiap orang menyibukkan diri untuk menghitung nomor-nomor dan tanggal yang padanya terjadi musibah-musibah yang menimpa umat, maka akan terdapat keselarasan diantara sebagiannya, akan tetapi keselarasan ini tidak ada hubungannya dengan merasa sial dengan angka atau tanggal dimana terjadi suatu kejadian atau musibah itu.

Adapun obat kegalauan semacam ini adalah hendaknya seorang hamba menguatkan hati, keyakinan dan tawakalnya kepada Allah, dan hendaknya mengetahui bahwa tidak ada satu kejadianpun yang menimpa kecuali berdsarkan taqdir(ketentuan) dari Allah, dan hendaknya berhati-hati terhadap buaian syetan dalam godaan-godaannya serta jalan-jalannya, seseorang itu terkadang dihukum dengan terjerumus kepada sesuatu yang dibenci, itu dikarenakan ia berpaling dari iman kepada Allah dan berpaling dari mengi'tikadkan bahwa segala kebaikan itu berada ditangan Allah, Dialah satu-satunya yang dapat menolak mudharat dengan kuasanya dan kelembutannya.

Dan Nabi telah memberikan petunjuk kepada kita bila kita terjerumus pada satu thiyarah atau kesialan dengan satu kaffarah(tebusan), seperti pada hadits yang terdapat pada hadits Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi bersabda :

"barang siapa yang mengurungkan hajatnya (kepentingannya) karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik"

para sahabat bertanya : "Lalu apakah sebagai tebusannya ? " beliau menjawab "supaya dia Mengucapkan..." yang artinya :

"Ya Allah tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tiada sembahan yang haq selain Engkau".
Baca selanjutnya »»

HUKUM ROKOK (stop smoking mulai sekarang)

Rokok terbukti mengandung berbagai-bagai jenis bahan kimia berbahaya, diantaranya ialah nikotin. Menurut pakar atau ahli kimia, telah jelas dibuktikan bahwa nikotin yang terdapat dalam setiap batang rokok atau pada daun tembakau adalah ternyata sejenis kimia memabukkan yang diistilahkan sebagai candu.

Dalam syara pula, setiap yang memabukkan apabila dimakan, diminum, dihisap atau disuntik pada seseorang maka ia di kategorikan sebagai candu atau dadah kerana pengertian atau istilah candu adalah suatu bahan yang telah dikenal pasti bisa memabukkan atau mengandung elemen yang bisa memabukkan. Dalam mengklasifikasikan hukum candu atau bahan yang memabukkan, jumhur ulama fikah yang berpegang kepada syara (al-Quran dan al- Hadith) sepakat menghukumkan atau memfatwakannya sebagai benda "Haram untuk dimakan atau diminum malah wajib dijauhi atau ditinggalkan". Pengharaman ini adalah jelas dengan berpandukan kepada hujah-hujah atau nas-nas dari syara sebagaimana yang berikut ini: "Setiap yang memabukkan itu adalah haram" H/R Muslim.

Hadith ini dengan jelas menegaskan bahawa setiap apa sahaja yang memabukkan adalah dihukum haram. Kalimah kullu (ßõáøõ)di dalam hadith ini bererti "setiap" yang memberi maksud pada umumnya, semua jenis benda atau apa saja benda yang memabukkan adalah haram hukumnya. Hadith ini dikuatkan lagi dengan hadith di bawah ini: "Setiap sesuatu yang memabukkan maka bahan tersebut itu adalah haram". H/R al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud.

Hadith di atas ini pula telah menyatakan dengan cukup terang dan jelas bahwa setiap apa saja yang bisa memabukkan adalah dihukum haram. Pada hadith ini juga Nabi Muhammad s.a.w menggunakan kalimah kullu (ßõáøõ) iaitu "Setiap apa saja", sama ada berbentuk cair, padat, debu (serbuk) atau gas.

Mungkin ada yang menolak kenyataan atau nas di atas ini kerana beralasan atau menyangka bahwa rokok itu hukumnya hanya makruh, bukan haram sebab rokok tidak memabukkan. Mungkin juga mereka menyangka rokok tidak mengandung candu dan kalau adapun kandungan candu dalam rokok hanya sedikit. Begitu juga dengan alasan yang lain, "menghisap sebatang rokok tidak terasa memabukkan langsung". Andaikan, alasan atau sangkaan seperti ini boleh diselesaikan dengan berpandukan kepada hadith di bawah ini: "Apa saja yang pada banyaknya memabukkan, maka pada sedikitnya juga adalah haram". H/R Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah.

Kalaulah meneguk segelas arak hukumnya haram kerana ia benda yang memabukkan, maka walaupun setetes arak juga hukum pengharamannya tetap sama dengan segelas arak. Begitu juga dengan seketul candu atau sebungkus serbuk dadah yang dihukum haram. Secebis candu atau secubit serbuk dadah yang sedikit juga telah disepakati oleh sekalian ulama Islam dengan memutuskan hukumnya sebagai benda yang dihukumkan haram untuk dimakan, diminum, dihisap (disedut) atau disuntik pada tubuh seseorang jika tanpa ada sebab tertentu yang memaksakan atau keperluan yang terdesak seperti darurat kerana rawatan dalam kecemasan. Begitulah hukum candu yang terdapat di dalam sebatang rokok, walaupun sedikit ia tetap haram kerana dihisap tanpa adanya sebab-sebab yang memaksa dan terpaksa.

Di dalam sepotong hadith sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad s.a.w telah mengkategorikan setiap yang memabukkan itu sebagai sama hukumnya dengan hukum arak. Seorang yang benar-benar beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w tentulah meyakini bahawa tidak seorangpun yang layak untuk menentukan hukum halal atau haramnya sesuatu perkara dan benda kecuali Allah dan RasulNya. Tidak seorangpun berhak atau telah diberi kuasa untuk merubah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi dan RasulNya kerana perbuatan ini ditakuti boleh membawa kepada berlakunya syirik tahrif, syirik ta'til atau syirik tabdil. Hadith yang mengkategorikan setiap yang memabukkan sebagai arak sebagaimana yang di dimaksudkan ialah: "Setiap yang memabukkan itu adalah arak dan setiap (yang dikategorikan) arak itu adalah haram". H/R Muslim.

Dalam perkara ini ada yang berkata bahawa rokok itu tidak sama dengan arak. Mereka beralasan bahawa rokok atau tembakau itu adalah dari jenis lain dan arak itu pula dari jenis lain yang tidak sama atau serupa dengan rokok. Memanglah rokok dan arak tidak sama pada ejaan dan rupanya, tetapi hukum dari kesan bahan yang memabukkan yang terkandung di dalam kedua-dua benda ini (rokok dan arak) tidak berbeza di segi syara kerana kedua benda ini tetap mengandungi bahan yang memabukkan dan memberi kesan yang memabukkan kepada pengguna atau penagihnya. Tidak kira sedikit atau banyaknya kandungan yang terdapat atau yang digunakan, yang menjadi perbincangan hukum ialah bendanya yang boleh memabukkan, sama ada dari jenis cecair, pepejal, serbuk atau gas apabila nyata memabukkan sama ada kuantitinya banyak atau sedikit maka hukumnya tetap sama, iaitu haram sebagaimana keterangan dari hadith sahih di atas.

Di hadith yang lain, Nabi Muhammad s.a.w mengkhabarkan bahawa ada di kalangan umatnya yang akan menyalahgunakan benda-benda yang memabukkan dengan menukar nama dan istilahnya untuk menghalalkan penggunaan benda-benda tersebut: "Pasti akan berlaku di kalangan manusia-manusia dari umatku, meneguk (minum/hisap/sedut/suntik) arak kemudian mereka menamakannya dengan nama yang lain". H/R Ahmad dan Abu Daud.

Seseorang yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam beragama, tentunya tanpa banyak persoalan atau alasan akan mentaati semua nas-nas al-Quran dan al-hadith yang nyata dan jelas di atas. Orang-orang yang beriman akan berkata dengan suara hati yang ikhlas, melafazkan ikrar dengan perkataan serta akan sentiasa melaksanakan firman Allah yang terkandung di dalam al-Quran : "Kami akan sentiasa dengar dan akan sentiasa taat". Tidaklah mereka mahu mencontohi sikap dan perbuatan Yahudi yang dilaknat dari dahulu sehinggalah sekarang kerana orang-orang Yahudi itu apabila diajukan ayat-ayat Allah kepada mereka maka mereka akan menentang dan berkata : "Kami sentiasa dengar tetapi kami membantah".

Sebagai contoh iman seorang Muslim yang sejati ialah suatu peristiwa yang mengisahkan seorang sahabat yang terus menuangkan gelas sisa-sisa arak yang ada padanya ke tanah tanpa soal dan bicara sebaik sahaja turunnya perintah pengharaman arak. Hanya iman yang mantap dapat mendorong seseorang mukmin sejati dalam mentaati segala perintah dan larangan Allah yang menjanjikan keselamatannya di dunia dan di akhirat.

Kalaulah Nabi Muhammad s.a.w telah menjelaskan melalui hadith-hadith baginda di atas bahawa setiap yang boleh memabukkan apabila dimakan, diminum atau digunakan (tanpa ada sebab-sebab keperluan atau terpaksa), maka ia dihukum sebagai benda haram dan ia dianggap sejenis dengan arak. Penghisapan dadah nikotin yang terdapat di dalam rokok bukanlah sesuatu yang wajib atau terpaksa dilakukan seumpama desakan dalam penggunaan dadah kerana adanya sebab-sebab tertentu seperti desakan semasa menjalani rawatan atau sebagainya. Sebaliknya, penghisapan rokok dimulakan hanya kerana tabiat ingin suka-suka yang akibatnya menjadi suatu ketagihan yang memaksa si penagih melayani kehendak nafsunya. Dalam pada itu, tanpa kesedaran, ia telah membeli penyakit dan menambah masalah, mengundang kematian dan tidak secara langsung ia telah melakukan kezaliman terhadap diri sendiri di samping mengamalkan pembaziran yang amat ditegah oleh syara (haram).

Dadah (bahan yang memabukkan) telah disamakan hukumnya dengan arak oleh Nabi Muhammad s.a.w disebabkan kedua-dua benda ini boleh memberi kesan mabuk dan ketagihan yang serupa kepada penggunanya (penagih arak dan dadah). Melalui kaedah (cara pengharaman) yang diambil dari hadith Nabi di atas, dapatlah kita kategorikan jenis dadah nikotin yang terdapat di dalam rokok sama hukumnya dengan arak dan semua jenis dadah yang lain.

Kesimpulannya, rokok atau tembakau yang sudah terbukti mengandungi dadah nikotin adalah haram pengambilannya kerana nikotin sudah ternyata adalah sejenis dadah yang boleh membawa kesan mabuk atau memabukkan apabila digunakan oleh manusia. Malah dadah ini akan menjadi lebih buruk lagi setelah mengganggu kesihatan seseorang penggunanya sehingga penderitaan akibat penyakit yang berpunca dari rokok tersebut mengakibatkan kematian. Rokok pastinya menambahkan racun (toksin) yang terkumpul di dalam tubuh badan sehingga menyebabkan sel-sel dalam tubuh seseorang itu mengalami kerosakan, mengganggunya daripada berfungsi dengan baik dan membuka kepada serangan kuman dan barah.

Apabila pengambilan rokok yang mengandungi bahan yang memabukkan dianggap haram kerana nyata ia digolongkan sejenis dengan arak (ÎÜóãúÑñ) oleh Nabi Muhammad s.a.w maka di dalam hadith dan al-Quran pula terdapat amaran keras dari Allah dan RasulNya:

"Dari Abu Musa berkata : Bersabda Rasulullah saw : Tiga orang tidak masuk syurga. Penagih arak, orang yang membenarkan sihir dan pemutus silaturrahmi". H/R Ahmad dan ibn Hibban.

"Mereka bertanya kepada engkau tentang arak dan perjudian, katakanlah bahawa pada keduanya itu dosa yang besar". Al Baqarah:219.

"Hai orang-orang yang beriman, bahawasanya arak , judi, (berkorban untuk) berhala dan bertenung itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, sebab itu hendaklah kamu meninggalkannya semuga kamu beroleh kejayaan". Al Maidah:90.

Hadith di atas Nabi Muhammad s.a.w telah mengkhabarkan bahawa penagih arak tidak masuk dan dalam ayat di atas pula, Allah mengkategorikan arak (khamar) sejajar dengan berhala dan bertenung sebagai perbuatan keji (kotor) yang wajib dijauhi oleh akal yang sihat. Perkataan "rijs" ini tidak digunakan dalam al-Quran kecuali terhadap perkara-perkara yang sememangnya kotor dan jelek. Perbuatan yang buruk, kotor, buruk dan jelek ini tidak lain mesti berasal daripada perbuatan syaitan yang sangat gemar membuat kemungkaran sebagaimana amaran Allah selanjutnya yang menekankan bahwa: "Sesungguhnya syaitan termasuk hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan judi itu dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang. Apakah kamu tidak mahu berhenti?". Al Maidah:91.

Justeru itu Allah menyeru supaya berhenti daripada perbuatan ini dengan ungkapan yang tajam : "Apakah kamu tidak mahu berhenti?"

Seseorang mukmin yang ikhlas tentunya menyahut seruan ini sebagaimana Umar r.a ketika mendengar ayat tersebut telah berkata: "Kami berhenti, wahai Tuhan kami, Kami berhenti, wahai Tuhan kami".

Utsman bin 'Affan r.a juga telah berwasiat tentang benda-benda yang memabukkan yang telah diistilahkan sebagai khamar (닄) "arak". Sebagaimana wasiat beliau: "Jauhkanlah diri kamu dari khamar (benda yang memabukkan), sesungguhnya khamar itu ibu segala kerosakan (kekejian/kejahatan)". Lihat : Tafsir Ibn Kathir Jld.2, M/S. 97.

Ada yang menyangka bahawa rokok walaupun jelas setaraf klasifikasinya dengan arak boleh dijadikan ubat untuk mengurangkan rasa tekanan jiwa, tekanan perasaan, kebosanan dan mengantuk. Sebenarnya rokok tidak pernah dibuktikan sebagai penawar atau dapat dikategorikan sebagi ubat kerana setiap benda haram terutamanya apabila dibuktikan mengandungi bahan memabukkan tidak akan menjadi ubat, tetapi sebaliknya sebagaimana hadith Nabi s.a.w: "Telah berkata Ibn Masoud tentang benda yang memabukkan : Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan ubat bagi kamu pada benda yang Ia telah haramkan kepada kamu". H/R al-Bukhari.

"Telah berkata Waail bin Hujr : Bahawa Tareq bin Suwid pernah bertanya kepada Nabi s.a.w tenang pembuatan arak, maka Nabi menegahnya. Maka baginda bersabda : Penulis membuatnya untuk (tujuan) perubatan. Maka Nabi bersabda : Sesungguhnya arak itu bukan ubat tetapi penyakit". H/R Muslim dan Turmizi. Allohu a’lam.
Baca selanjutnya »»

Jaring-jaring Setan itu Bernama Ghuluw(melampaui batas)

Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Setan tak hanya menyerang orang-orang yang bergelimang maksiat, namun juga menjerat hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah.

Sesungguhnya setan menggunakan dua cara untuk menyesatkan umat Islam. Cara pertama digunakan untuk mengelabui seorang muslim yang bergelimang maksiat. Yaitu dengan menjadikan maksiat yang ia lakukan seakan-akan sesuatu yang indah. Sehingga ia tetap akan jauh dari ketaatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Al-Jannah dikelilingi oleh segala hal yang tidak disukai, sementara An-Naar itu diliputi dengan syahwat.” (HR. Al-Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822)


Adapun cara kedua digunakan oleh setan untuk menyesatkan seorang muslim yang gemar beribadah. Yaitu dengan mengajaknya berlaku ghuluw (melampaui batas) di dalam beribadah. Sehingga justru agamanya akan rusak. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk bersikap ghuluw. (Muqaddimah Asy-Syaikh Al-Abbad, kitab Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin)
Al-Imam Makhlad bin Al-Husain rahimahullahu pernah berkata, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan melainkan Iblis akan menghadangnya dengan dua cara. Iblis tidak ambil peduli dengan cara apa dia akan menguasainya. Antara bersikap ghuluw di dalam amalan tersebut ataukah sikap meremehkannya.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9/236)

Definisi Al-Ghuluw
Al-Ghuluw secara bahasa bermakna melebihi batasan. Berasal dari kata غَلَا فِي الْأَمْرِ –يَغْلُو-غُلُوًّا. Hal ini sebagaimana dijabarkan oleh Al-Jauhari dalam Ash-Shihah, Ibnu Faris di dalam Al-Mu’jam, Ibnu Manzhur di dalam Al-Lisan, dan Az-Zabidi di dalam Tajul ‘Arus.
Di dalam penggunaannya, seluruh lafadz “ghuluw” selalu bermakna melebihi ukuran dan batasan. Sebagai contoh adalah hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Bukhari (no. 2518). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang budak yang terbaik untuk dibebaskan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَغْلاَهَا ثَمَنًا، وَأَنْفعُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Budak yang paling tinggi harganya dan terbanyak manfaatnya bagi sang majikan.” Kalimat غلَاءُ الثَّمَنِ artinya harganya naik dan melebihi batas kebiasaan.
Demikian pula, sebagai contoh lain, hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ، كَمَا يَغْلِي الْمِرْجَلُ
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan azabnya adalah seseorang yang dipasangkan dua bara api pada telapak kakinya kemudian otaknya mendidih sebagaimana periuk itu mendidih.” (HR. Al-Bukhari no. 6561 dan Muslim no. 213)

Kalimat غلَاءُ الْمِرْجَلِ artinya periuk yang bertambah panasnya dan naik panasnya dari kebiasaan.
Syaikhul Islam rahimahullahu mendefinisikan ghuluw dengan menyatakan, “Melebihi dari batas, yaitu dengan menambahkan pujian atau celaan dari hak yang seharusnya, dan yang semisal itu.” (Iqtidha’ush Shirath, 1/328)
Adapun di dalam syariat, ghuluw bermakna melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. (Al-Ghuluw, Ali Al-Haddadi, hal. 13)

Haramnya Ghuluw
Dienul Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi Sang Khaliq, yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segenap isinya. Sehingga, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mengetahui sebatas mana kemampuan dan kekuatan manusia. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan syariat yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dienul Islam datang membawa kemudahan bagi pengikutnya, ajaran yang tidak menghendaki adanya keberatan dan kesusahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Maka dari itu, sikap ghuluw dan berlebih-lebihan adalah kesesatan serta jauh dari tujuan-tujuan suci. Berikut ini beberapa dalil tentang haram dan tercelanya sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’: 171)
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 77)
Di dalam dua ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw di dalam beragama. Sementara setiap pembicaraan yang ditujukan kepada ahlul kitab di dalam Al-Qur’an dalam bentuk perintah atau larangan juga ditujukan kepada umat Islam. Karena merekalah yang diajak berbicara di dalam Al-Qur’an. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw, maka umat Islam lebih pantas untuk dilarang. (Al-Ghuluw, ‘Ali bin Yahya, hal. 15)
Di dalam Al-Qur’an juga dengan tegas melarang kita dari sikap melampaui batas. Sementara melampaui batas yang telah diterangkan oleh syar’i merupakan hakikat ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman kepada Nabi-Nya berikut para pengikut beliau:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Hud: 112)
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang haramnya ghuluw sangat banyak. Di antaranya adalah sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -قَالَهَا ثَلاَثًا
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu’.” Beliau mengulangi pernyataan ini sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Yang dimaksud orang-orang yang bersikap tanaththu’ adalah mereka yang berlebih-lebihan, bersikap ghuluw, dan melampaui batas dari yang telah ditentukan. Baik di dalam ucapan ataupun perbuatan.”
Seseorang yang bersikap tanaththu’ akan mengalami kehancuran. Ia akan merugi. Karena sikap tersebut akan mendorongnya untuk terjatuh dalam dosa kesombongan dan ujub (bangga diri). Ia melihat dirinya telah banyak melakukan amalan shalih. Setan menipunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang penipuan setan ini:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak ditipu syaitan) maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
Seharusnya seorang muslim takut bila termasuk golongan yang tidak mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat karena perbuatan ghuluw. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu:
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ غَشُوم ٌ، وَكُلُ غَالٍ مَارِقٍ
“Ada dua golongan dari umatku yang tidak akan memperoleh syafa’at dariku. Yaitu seorang pemimpin yang selalu berbuat zalim dan setiap orang yang berlaku ghuluw, keluar dari jalan kebenaran.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam Ash-Shahihah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita tentang bahaya ghuluw dengan memberat-beratkan diri di dalam beribadah. Karena sesungguhnya dienul Islam ini adalah ajaran yang mudah untuk diamalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan dirinya dalam beragama melainkan dia tidak mampu menjalankannya.” (HR. Al-Bukhari no. 39 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menerangkan bahwa makna hadits ini ialah larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din, serta dia meninggalkan kelembutan karena dia tidak akan mampu untuk meneruskan amalan tersebut, berhenti dari ibadah dan pada akhirnya dia akan mengalami kekalahan. (Fathul Bari, ketika mensyarah hadits diatas)
Al-Imam Ibnu Al-Munayyir rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini juga terdapat salah satu tanda-tanda kenabian. Sungguh kami sendiri telah menyaksikan sebagaimana orang-orang sebelum kami juga telah menyaksikan. Bahwa setiap orang yang berlebih-lebihan di dalam beragama pasti akan berhenti. Hal ini bukan bermakna larangan untuk mencari kesempurnaan di dalam ibadah, karena perkara seperti ini sangat terpuji. Hanya saja yang dilarang adalah sikap berlebih-lebihan yang akan mengantarkan pelakunya kepada kejenuhan. Demikian juga bila sikap tersebut mengakibatkan dia meninggalkan perkara yang lebih afdhal atau yang berakibat pelaksanaan sesuatu yang wajib bukan pada waktunya. Seperti seseorang yang semalam suntuk shalat malam. Dia akan merasakan kantuk yang sangat berat di pengujung malam. Akhirnya dia tidak dapat melaksanakan shalat shubuh secara berjamaah.” (Fathul Baari)
Sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, dalam setiap kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing umat untuk menjauhi sikap ghuluw. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Adh-Dhiya’. Hadits ini ditakhrij dalam Ash-Shahihah no. 1238)
Larangan ghuluw ini sebenarnya dipicu sebuah kejadian di pagi hari Aqabah. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa beliau diminta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu sedang berada di atas kendaraannya, untuk memungut kerikil-kerikil. Setelah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyerahkan kerikil-kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meletakkannya di tangan lalu bersabda:
“Hendaknya dengan kerikil-kerikil semacam inilah. Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.”
Walaupun larangan ini dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena disebabkan sebuah peristiwa secara khusus, namun hukum ini berlaku secara umum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika membicarakan hadits di atas berkata, “(Larangan ini) bersifat umum, mencakup seluruh jenis ghuluw. Di dalam perkara keyakinan maupun amalan.”
Saudaraku… sikap ghuluw adalah sikap tercela sebagai warisan dari ahlul kitab. Kita dilarang untuk meniru mereka. Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِتَشْدِيدِهِمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَسَتَجِدُونَ بَقَايَاهُمْ فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارَاتِ
“Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian hanyalah disebabkan mereka memberat-beratkan diri. Dan kalian akan menemukan sisa-sisa mereka di dalam pertapaan dan biara.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari di dalam At-Tarikh. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah, 3124)
Di dalam perkara yang dianggap biasa sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menjauhi sikap berlebihan. Perkara memuji seseorang adalah satu hal yang biasa dilakukan. Namun apabila pujian tersebut disampaikan secara berlebihan justru akan menyeret pada dampak yang berbahaya. Orang yang dipuji secara berlebih tentu akan merasa ujub dan sombong.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu meletakkan sebuah bab di dalam Shahih Muslim, Bab Larangan Memuji, apabila berlebihan dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang yang dipuji. Dari Abu Musa Al-’Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang memuji orang lain dan berlebihan di dalam memuji. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
لَقَدْ أَهْلَكْتُمْ -أَوْ قَطَعْتُمْ- ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Sungguh kalian telah mencelakakan orang tersebut.”
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk menaburkan pasir ke wajah orang yang senang berlebihan di dalam memuji sebagaimana dikabarkan oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu.
Secara khusus lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari sikap berlebih-lebihan di dalam memuji beliau. Karena kekhawatiran beliau bahwa umat Islam akan jatuh pada kesalahan yang dilakukan orang-orang Nasrani. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam memuji diriku sebagaimana orang-orang Nashara berlebih-lebihan di dalam memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”
Betapa besar perhatian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat Islam. Beliau benar-benar sayang dan mencintai pengikutnya. Semua telah ditunjukkan sepanjang hidup beliau. Di antara sekian banyak buktinya adalah pengingkaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang sahabat yang bernadzar untuk melakukan sesuatu yang berat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, beliau melihat seseorang sedang berdiri di bawah terik matahari. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang orang tersebut. Para sahabat menjawab, “Dia adalah Abu Israil. Dia bernadzar untuk berdiri di bawah terik matahari dan tidak akan duduk, juga tidak ingin berteduh atau berbicara dalam keadaan dia berpuasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Perintahkan dia untuk berbicara, juga berteduh dan duduk, lalu menyempurnakan puasanya.” (HR. Al-Bukhari)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Nadzar yang diucapkan sahabat ini mengandung perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ada pula yang tidak dicintai-Nya. Adapun yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah puasa. Karena puasa bagian dari ibadah. Sementara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ‘Barangsiapa yang bernadzar di dalam ketaatan kepada Allah hendaknya ia tunaikan nadzarnya dengan menaatinya.’
Adapun perbuatan sahabat itu yang berdiri di bawah terik matahari tanpa berteduh. Demikian juga sikapnya yang tidak mau berbicara. Hal ini tidaklah dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat tersebut untuk meninggalkan nadzarnya.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Kesimpulannya, kebaikan yang hendak kita kejar haruslah dengan pertimbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah disertai pemahaman salaful ummah. Tidak setiap amalan yang kita anggap baik benar-benar sebuah kebaikan, kecuali dengan dilandaskan oleh dalil.
Wallahu a’lam.

catatan :Yang dimaksud CUKUP adalah agama Islam yang CUKUP berdasarkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan yang dipahami serta yang diamalkan para Shahabat beliau radhiyallahu’anhum.
Karena agama Islam yang diajarkan oleh Allah ini sudah sempurna (lihat Q.S Al-Ma`idah: 3). Tidak boleh dikurang-kurangi maupun ditambah-tambahi.
Jika ditambah-tambahi berarti kita menganggap agama Islam belum sempurna.

Kita akan mengetahui apakah kita ini sudah benar (lurus dan berimbang) dengan cara terus-menerus belajar ilmu yang shahih. Jangan berhenti. Selalu belajar ilmu dari Al-Qur`an dan Hadits-Hadits yang shahih dan tidak menyimpang dari pemahaman para Shahabat radhiyallohu’anhum. Para ‘ulama sering juga menyebutnya dengan pemahaman Salafush Shalih (para pendahulu / generasi awal yang shalih), yaitu pemahaman para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.
Rasulullah sendiri telah bersabda bahwa sebaik-baik umat adalah di tiga generasi awal tersebut.
Maka patokan hidup kita adalah dengan mencontoh tiga generasi awal.
Maka kita katakan bahwa dasar (dalil) agama kita adalah: Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, serta pemahamannya harus sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih.
Demikianlah yang telah dikatakan oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Contohnya dari perkataan Syaikh Al-Albani.

Kita belajar juga tidak asal-asalan. Harus merujuk / belajar selalu kepada para ‘ulama yang juga berpemahaman Salafush Shalih dalam segala sisi kehidupannya.
Bukanlah ‘ulama berpemahaman Salaf jika ia (yang dianggap ‘ulama tersebut) hanya mengamalkan sebagian saja dari pemahaman Salaf. Misalnya jika ia hanya mengamalkan ajaran ibadahnya saja, atau mengamalkan cara muamalahnya saja sementara ajaran aqidah dan akhlaknya ditinggalkan.

Kita harus selalu memohon hidayah taufiq kepada Allah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunanNya kepada kita.
Baca selanjutnya »»

Lantunan ayat-ayat suci Al'Quran

Listen to Quran