Rabu, 08 Desember 2010

Pintu taubat masih terbuka

ada seseorang yang bertanya,Adakah pintu taubat bagiku?” Sang Khothib ketika itu mengakhiri khutbahnya, “Pintu taubat bagi orang-orang yang berdosa masih terbuka…”.

Setelah itu sang khotib pun mulai membawakan ayat-ayat suci, dan kalam nabawi.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersamanya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”. (QS. At-Tahrim : 8).

“Masihkah Ada Pintu Taubat Bagiku?” Pertanyaan ini juga pernah
terlontar dari mulut seorang penjahat yang pernah melumuri kehidupannya dengan berbagai macam maksiat. Dia adalah sebuah pribadi yang biadab sampai ia telah menumpahkan darah, dan membunuh 100 nyawa sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits yang shohih.

Pembaca yang budiman, cerita dan kisah pembunuh 100 nyawa tersebut, ada baiknya kami sajikan agar para pembaca bisa meneguk ibroh dari lautan ilmu yang terdapat dalam kalam nabawi (sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-).

Kisahnya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

كَانَ فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا, فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ , فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا فَهَلْ لَهْ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ: لاَ, فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً, ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ, فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ, فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ , فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ, وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا , فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ, فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ, فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ, فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ, فَاخْتَصَمَتْ فِيْهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ, فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ, وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ, فَأَتَاهُ مَلَكٌ فِيْ صُوْرَةِ آدَمِيٍّ, فَجَعَلُوْهُ حَكَمًا بَيْنَهُمْ, فَقَالَ: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ , فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ, فَقَاسُوْهُ فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إِلَى اْلأَرْضِ الَّتِيْ أَرَادَ, فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ

“Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kalian yang telah membunuh 99 nyawa. Dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di atas permukaan bumi. Lalu ditunjukkanlah seorang rahib (ahli ibadah). Kemudian ia pun datang kepada sang rahib seraya mengatakan bahwa dirinya telah membunuh 99 nyawa. Apakah masih ada taubat baginya? “tidak ada!!”, tukas si rahib. Maka orang itu membunuh si rahib dan menyempurnakan (bilangan 99) dengan membunuh si rahib menjadi 100 nyawa. Kemudian ia bertanya lagi tentang orang yang paling berilmu di atas pemukaan bumi. Lalu ditunjukkan seorang yang berilmu (ulama’) seraya menyatakan bahwa dirinya telah membunuh 100 nyawa, apakah masih ada taubat baginya. Orang yang berilmu itu menyatakan bahwa siapakah yang menghalangi antara dirinya dengan taubat? “Berangkatlah engkau ke negeri demikian dan demikian, karena disana ada sekelompok manusia yang menyembah Allah -Ta’ala- . Maka sembahlah Allah bersama mereka, dan janganlah engkau kembali kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang jelek”, kata orang yang beilmu itu. Orang itu pun berangkat sampai di tengah perjalanan, ia di datangi oleh kematian. Maka para malaikat rahmat, dan malaikat adzab (siksa) pun bertengkar tentang orang itu. Malaikat rahmat berkata, “Dia (bekas pembunuh) ini telah datang dalam keadaan bertaubat lagi menghadapkan hatinya kepada Allah -Ta’ala-”. Malaikat adzab berkata, “Orang ini sama sekali belum mengamalkan suatu kebaikan”. Lalu mereka (para malaikat itu) pun didatangi oleh seorang malaikat dalam bentuk seorang manusia. Mereka (para malaikat) pun menjadikannya sebagai hakim. Malaikat (yang menjadi hakim) berkata, “Ukurlah antara dua tempat itu; kemana saja laki-laki lebih itu dekat, maka berarti ia kesitu”. Mereka mengukurnya; ternyata laki-laki itu lebih dekat ke negeri yang ia inginkan. Akhirnya malaikat rahmat menggenggam (ruh)nya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Anbiyaa', bab: Am Hasibta anna Ashhaba Kahfi war Roqim (3283), Muslim dalam Kitab At-Taubah, bab: Qobul Taubah Al-Qotil Wa in Katsuro qotluh (2766), Ibnu Majah dalam Kitab Ad-Diyat, bab: Hal li Qotil Al-Mu'min Taubah (2622)]

Hadits ini adalah hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau menceritakan sebagian diantara berita-berita gaib orang-orang Bani Isra’il. Berita ini beliau terima melalui wahyu dari Allah, bukan dari kitab Taurat, atau Injil.

Hadits ini banyak mengandung mutiara hikmah yang terpancar dari wahyu Allah -Ta’ala- . Para ulama’ telah mengeluarkan hikmah, dan faedah-faedahnya dalam kitab-kitab hadits.

Di dalam hadits ini terdapat bimbingan bagi kita agar seorang ketika ingin bertaubat, maka hendaknya ia meninggalkan kampung halamannya yang penuh dengan maksiat atau kekafiran, karena dikhawatirkan ia akan kembali kepada kebiasaannya berupa maksiat atau kekafiran yang pernah ia lakukan dahulu sebelum taubat. Selain itu, teman juga punya pengaruh besar dalam mengembalikan seseorang ke lembah maksiat. Berapa banyak manusia yang dahulu mau bertaubat, bahkan sudah bertaubat dari kebiasaannya, seperti zina, khomer, dan lainnya. Namun beberapa saat kemudian ia kembali lagi kepada kebiasaannya yang buruk tersebut. Oleh karena itu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ, فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

“Seorang itu berada di atas jalan hidup (kebiasaan) temannya. Lantaran itu, hendaknya seseorang diantara kalian memeperhatikan orang yang ia temani”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4833), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2378). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (927)]

Abu Hamid-rahimahullah- berkata, “Menemani orang yang bersemangat akan membangkitkan semangat. Menemani orang yang zuhud akan membuat kita zuhud terhadap dunia, karena tabiat manusia tercipta untuk selalu menyerupai dan meneladani orang”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy bi Syarh Jami' At-Tirmidziy (7/42), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah]

Jadi, seorang yang mau bertaubat, atau sudah bertaubat, namun ia masih tetap bergaul dan bersahabat dengan teman-teman lamanya dari kalangan ahli maksiat, maka yakin bahwa orang itu tak bisa bertaubat dengan benar. Kalaupun ia bisa bertaubat, maka taubatnya tak akan nashuha (murni).

Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits pembunuh 100 nyawa di atas, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan berpindah dari kampung yang ia bermaksiat di dalamnya, karena sesuai dengan pengalaman, orang seperti ini akan terkalahkan (terpengaruh), entah karena ia teringat dengan perbuatan-perbuatannya yang lalu sebelum ia taubat, dan terpengaruh dengannya, atau entah karena ada orang yang menolongnya kepada maksiat, dan mendorongnya kepada hal itu. Oleh karena ini, pada akhir hadits beliau bersabda, “…dan janganlah engkau kembali ke kampungmu, karena ia adalah kampung yang jelek”. Jadi, di dalamnya terdapat isyarat bahwa seorang yang mau bertaubat seyogyanya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya yang telah biasa ia lakukan dahulu di masa ia bermaksiat, dan berpindah darinya seluruhnya”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/517), cet. Darul Ma'rifah]

Inilah jalan bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang mau taubat nasuha, ia harus meninggalkan maksiat, menyesali maksiatnya, dan bertekad kuat untuk tidak kembali lagi kepadanya. Jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia kembalikan, dan meminta maaf kepadanya. [Lihat Riyadhus Sholihinmin Kalam Sayyid Al-Mursalin (hal. 17), karya An-Nawawiy -rahimahullah-]

Taubat nashuha (taubat yang murni dan sungguh-sungguh) tak mungkin akan tercapai dan berkelanjutan, kecuali jika seseorang tak mau meninggalkan lingkungannya yang rusak, lalu mencari lingkungan yang jauh dari perkara-perkara yang mendorong dirinya terjatuh dalam maksiat. Oleh karena itu, seorang dianjurkan untuk berangkat mencari lingkungan orang-orang beriman, dan beramal sholeh yang terhiasi oleh cahaya ilmu. Sehingga ia bisa mendapatkan teman dari kalangan orang sholeh, dan berilmu yang membantu dirinya untuk selalu taat, dan tegar dalam meninggalkan maksiat.

Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata saat memetik beberapa buah faedah hadits di atas, “(Di dalam hadits ini terkandung beberapa faedah, di antaranya,) disyari’atkan berpindah dari kampung yang ia bermaksiat kepada Allah di dalamnya menuju kepada negeri yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, atau penduduknya lebih sedikit kejelekannya dibandingkan yang pertama. Seyogyanya bagi orang yang bertaubat agar ia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang ia biasa kerjakan di masa ia senang bermaksiat, dan berubah, serta menyibukkan diri dengan selainnya. Menemani orang yang berilmu agama, bertaqwa, dan sholeh akan sangat membantu untuk taat kepada Allah, dan mengekang setan. Bersabarnya seseorang dalam usaha mencari orang-orang yang sholeh merupakan dalil (tanda) yang menunjukkan tentang benarnya kemauan seseorang dalam bertaubat kepada Allah”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/62), cet. Dar Ibnul Jauziy, 1422 H]

Jadi, seseorang yang jujur taubatnya akan nampak pada dirinya tanda-tanda perubahan, dan usaha untuk berubah. Oleh karena itu, seorang tak mungkin akan dikatakan jujur bertaubat, jika ia masih dalam kebiasaannya bermaksiat, dan tidak ada usaha pada dirinya untuk meninggalkan teman-temannya lamanya yang menjerumuskan dirinya dalam lembah maksiat. Seorang tak cukup hanya mengucapkan, “Astaghfirullah” (Aku memohon ampunan dosa kepada), lalu tak ada perubahan pada dirinya untuk baik, dan tak mau meninggalkan teman-teman lamanya.

Terakhir kami nasihatkan dengan firman Allah -Ta’ala- ,

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nuur: 31).

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 81 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Pentobat Maksiat menukil dari: http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/pintu-taubat-masih-terbuka.html

Baca selanjutnya »»

Sabtu, 27 November 2010

Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin


“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkara adalah kebaikan baginya. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika mendapatkan kelapangan ia bersyukur maka yg demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudaratan/kesusahan ia bersabar maka yg demikian itu baik baginya.”(HR. Muslim)

betapa mengagumkan bila kita menjadi seorang mukmin, benar-benar menjadi seorang mukmin yang ikhlas. semua perkara atau kejadian bisa menjadi kebaikan bagi kita. apabila seorang mukmin ditimpa ujian atau musibah maka ia akan bersabar, mengharap Allah ridho akan kesabarannya dan memberi ganjaran berupa pahala bagi kesabarannya kemudian mengharap Allah menggantinya dengan yang lebih baik. dan bahkan orang-orang yang bersabar dijanjikan surga oleh Allah.

namun, bila ia diberi kenikmatan oleh Allah maka seorang mukmin akan bersyukur, semakin giat ia beribadah kepada Allah karena rasa syukurnya. tidak ada perasaan sombong dan bakhil dalam dirinya. ia akan menjadi pribadi yang tawadhu'(rendah hati) di mana ia merasa bahwa apapun kenikmatan yang ia dapatkan semua adalah kemurahan dari Ar Rahman dan ia sadar bahwa kenikmatan itu bukanlah miliknya tetapi milik Allah sang maha kaya, Tuhan langit dan bumi. sehingga ia menjadi pribadi yang senang bersedekah untuk mengharap keridhoan Allah. dan itu semua akan menjadi kebaikan baginya. subhanallah.

sungguh berbeda dengan mereka yang
bukan mukmin. seseorang bisa saja mengaku seorang muslim, akan tetapi belum tentu dia seorang mukmin. lihatlah perangai orang-orang yang bukan mukmin, apabila diberi ujian maka ia akan mengeluh, berputus asa dan bahkan berprasangka buruk yang amat buruk kepada Allah. bahkan ia tidak segan-segan untuk bermaksiat ketika dalam keadaan sedang tertimpa musibah karena tidak ada rasa takut akan azab yang akan menimpa dirinya.

"Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku". (QS. 89:15-16)

begitu juga apabila seseorang yang bukan mukmin diberi kenikmatan oleh Allah maka ia akan menjadi sombong dan bakhil. merasa takabur bahwa apa yang ia dapatkan bukanlah dari Allah tetapi ia merasa itu dari hasil usahanya sendiri.selain itu ia akan menjadi manusia yang suka pamer sana sini, mencintai dunia berlebihan bahkan tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah ia miiliki dan selain itu ia bakhil, pelit untuk sekedar menyedekahkan hartanya di jalan Allah dan semua ini akan menjadi keburukan baginya. Naudzhubillahiminzalik.

maka betapa beruntungnya kita , bila kita tidak hanya menjadi seorang muslim namun menjadi seorang mukmin di hadapan Allah 'azza wa jalla.

ya betapa mengagumkannya kita yang telah menjadi seorang mukmin karena seluruh perkara dalam kehidupan kita adalah perkara yang mengagumkan dan menjadi kebaikan bagi kita.

Alhamdulillah 'ala kulli haal, segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.
Baca selanjutnya »»

Senin, 22 November 2010

tata cara sholat




















Baca selanjutnya »»

Minggu, 21 November 2010

Sifat Sholat Rasulallah







Baca selanjutnya »»

Jumat, 12 November 2010

Jangan takut jadi orang aneh




“Dunia memang aneh”, Gumam Pak Ustadz

“Apanya yang aneh Pak?” Tanya Penulis yang fakir ini..

“Tidakkah antum (kamu/anda) perhatikan di sekeliling antum, bahwa dunia
menjadi terbolak-balik, tuntunan jadi tontonan, tontonan jadi tuntunan,
sesuatu yang wajar dan seharusnya dipergunjingkan, sementara perilaku
menyimpang dan kurang ajar malah menjadi pemandangan biasa”

“Coba antum rasakan sendiri, nanti Maghrib, antum ke masjid, kenakan
pakaian yang paling bagus yang antum miliki, pakai minyak wangi, pakai
sorban, lalu antum berjalan kemari, nanti antum ceritakan apa yang antum
alami” Kata Pak Ustadz.

Tanpa
banyak tanya, penulis melakukan apa yang diperintahkan Pak Ustadz,
menjelang maghrib, penulis bersiap dengan mengenakan pakaian dan wewangian
dan berjalan menunju masjid yang berjarak sekitar 200 M dari rumah.

Belum setengah perjalanan, penulis berpapasan dengan
seorang ibu muda yang
sedang jalan-jalan sore sambil menyuapi anaknya”

“Aduh, tumben nih rapi banget, kayak pak ustadz. Mau ke mana, sih?” Tanya
ibu muda itu.

Sekilas pertanyaan tadi biasa saja, karena memang kami saling kenal, tapi
ketika dikaitkan dengan ucapan Pak Ustadz di atas, menjadi sesuatu yang
lain rasanya…

“Kenapa orang yang hendak pergi ke masjid dengan pakaian rapi dan memang
semestinya seperti itu dibilang “tumben”?

Kenapa justru orang yang jalan-jalan dan memberi makan anaknya di tengah
jalan, di tengah kumandang adzan maghrib menjadi biasa-biasa saja?

Kenapa orang ke masjid dianggap aneh?

Orang yang pergi
ke masjid akan terasa “aneh” ketika orang-orang lain
justru tengah asik nonton reality show “SUPERSOULMATE” .

Orang ke masjid akan terasa “aneh” ketika melalui kerumunan orang-orang
yang sedang ngobrol di pinggir jalan dengan suara lantang seolah meningkahi
suara panggilan adzan.

Orang ke masjid terasa “aneh” ketika orang lebih sibuk mencuci motor dan
mobilnya yang kotor karena kehujanan.

Ketika hal itu penulis ceritakan ke Pak Ustadz, beliau hanya tersenyum,
“Kamu akan banyak menjumpai “keanehan-keanehan” lain di sekitarmu,” kata
Pak Ustadz.

“Keanehan-keanehan” di sekitar kita?

Cobalah ketika kita datang ke kantor, kita lakukan shalat sunah dhuha,
pasti akan nampak “aneh” di tengah orang-orang yang sibuk sarapan, baca
koran dan mengobrol.

Cobalah kita shalat dhuhur atau Ashar tepat waktu, akan terasa “aneh”,
karena masjid masih kosong melompong, akan terasa aneh di
tengah-tengah
sebuah lingkungan dan teman yang biasa shalat di akhir waktu.

Cobalah berdzikir atau tadabur al Qur’an ba’da shalat, akan terasa aneh di
tengah-tengah orang yang tidur mendengkur setelah atau sebelum shalat. Dan
makin terasa aneh ketika lampu mushola/masjid harus dimatikan agar tidurnya
nyaman dan tidak silau. Orang yang mau shalat malah serasa menumpang di
tempat orang tidur, bukan malah sebaliknya, yang tidur itu justru menumpang
di tempat shalat. Aneh, bukan?

Cobalah hari ini shalat Jum’at lebih awal, akan terasa aneh, karena masjid
masih kosong, dan baru akan terisi penuh manakala khutbah ke dua menjelang
selesai.

Cobalah anda kirim artikel atau tulisan yang berisi nasehat, akan terasa
aneh di tengah-tengah kiriman e-mail yang berisi humor, plesetan, asal
nimbrung, atau sekedar gue, elu, gue, elu, dan test..test, test
saja.

Cobalah baca artikel atau tulisan yang berisi nasehat atau hadits, atau
ayat al Qur’an, pasti akan terasa aneh di tengah orang-orang yang membaca
artikel-artikel lelucon, lawakan yang tak lucu, berita hot atau lainnya.

Dan masih banyak keanehan-keanehan lainnya, tapi sekali lagi jangan takut
menjadi orang “aneh” selama keanehan kita sesuai dengan tuntunan syari’at
dan tata nilai serta norma yang benar.

Jangan takut dibilang “tumben” ketika kita pergi ke masjid, dengan pakaian
rapi, karena itulah yang benar yang sesuai dengan al Qur’an (Al A’raf:31)

Jangan takut dikatakan “sok alim” ketika kita lakukan shalat dhuha di
kantor, wong itu yang lebih baik kok, dari sekedar ngobrol ngalor-ngidul
tak karuan.

Jangan takut dikatakan “Sok Rajin” ketika kita shalat tepat pada
waktunya,
karena memang shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya
terhadap orang-orang beriman.

“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.. Kemudian apabila kamu Telah
merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.” (Annisaa:103)

Jangan takut untuk shalat Jum’at/shalat berjama’ah berada di shaf terdepan,
karena perintahnya pun bersegeralah. Karena di shaf terdepan itu ada
kemuliaan sehingga di jaman Nabi Salallahu’alaihi wassalam para sahabat
bisa bertengkar cuma gara-gara memperebutkan berada di shaf depan.

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Al
Jumu’ah:9)

Jangan takut kirim artikel berupa nasehat, hadits atau ayat-ayat al Qur’an,
karena itu adalah sebagian dari tanggung jawab kita untuk saling
menasehati, saling menyeru dalam kebenaran, dan seruan kepada kebenaran
adalah sebaik-baik perkataan;

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?” (Fusshilat:33)

Jangan takut artikel kita tidak dibaca, karena memang demikianlah Allah
menciptakan ladang amal bagi kita. Kalau sekali kita menyerukan, sekali
kita kirim artikel,
lantas semua orang mengikuti apa yang kita serukan,
lenyap donk ladang amal kita….

Kalau yang kirim e-mail humor saja, gue/elu saja, test-test saja bisa kirim
e-mail setiap hari, kenapa kita mesti risih dan harus berpikir ratusan atau
bahkan ribuan kali untuk saling memberi nasehat. Aneh nggak, sih?

Jangan takut dikatain sok pinter, sok menggurui, atau sok tahu. Lha wong
itu yang disuruh kok, “sampaikan dariku walau satu ayat” (potongan dari
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3461 dari hadits Abdullah Ibn
Umar).

Jangan takut baca e-mail dari siapapun, selama e-mail itu berisi kebenaran
dan bertujuan untuk kebaikan. Kita tidak harus baca e-mail dari orang-orang
terkenal, e-mail dari manager atau dari siapapun kalau isinya sekedar dan
ala kadarnya saja, atau dari e-mail yang isinya asal kirim saja. Mutiara
akan tetap jadi mutiara terlepas dari siapapun pengirimnya. Pun sampah
tidak akan
pernah menjadi emas, meskipun berasal dari tempat yang mewah
sekalipun.

Lakukan “keanehan-keanehan” yang dituntun manhaj dan syari’at yang benar.

Kenakan jilbab dengan teguh dan sempurna, meskipun itu akan serasa aneh
ditengah orang-orang yang berbikini dan ber ‘you can see’.

Jangan takut mengatakan perkataan yang benar (Al Qur’an & Hadist), meskipun
akan terasa aneh ditengah hingar bingarnya bacaan vulgar dan tak bermoral.

Lagian kenapa kita harus takut disebut “orang aneh” atau “manusia langka”
jika memang keanehan-keanehan menurut pandangan mereka justru yang akan
menyelamatkan kita?

Selamat jadi orang aneh yang bersyari’at dan bermanhaj yang benar…

Oleh : Fuad Baradja
Baca selanjutnya »»

Sabtu, 06 November 2010

Apakah aku bahagia?




Mengapa banyak orang merasa tak bahagia? Di manakah sebenarnya kebahagiaan itu berada?
Demikian orang sering bertanya namun tak pernah memperoleh jawaban memuaskan.

Di bawah ini ada sebuah kisah pendek tentang kebahagiaan yang diadaptasi dari sebuah milis. Sampean mungkin juga pernah membacanya. Selamat menikmati.


###


Syahdan Lestari Ramadani menjadi pembicara sebuah seminar tentang kebahagiaan di sebuah hotel berbintang lima di jantung Jakarta. Istri motivator kondang Mario Kukuh ini tampil begitu memukau peserta seminar.

Mario sang suami duduk di bangku paling depan ikut mendengarkan presentasi istrinya. Beberapa kali wajahnya terlihat sumringah setiap kali istrinya menyampaikan pernyataan yang membuat peserta seminar bertepuk tangan.

Di akhir sesi, semua pengunjung bertepuk tangan. Dan sekarang saatnya sesi tanya jawab.

Setelah beberapa pertanyaan, seorang ibu mengacungkan tangannya untuk bertanya.
"Ibu Lestari, apakah suami Anda membuat Anda bahagia?"

Seluruh ruangan langsung terdiam. Satu pertanyaan yang bagus. Lestari tampak berpikir beberapa saat dan kemudian menjawab, "Tidak."

Seluruh ruangan terkejut.

"Tidak," katanya sekali lagi. "Mario Kukuh suamiku tidak bisa membuatku bahagia."

Seisi ruangan langsung menoleh ke arah Mario yang juga menoleh-noleh mencari pintu keluar. Rasanya dia ingin cepat-cepat keluar.

Kemudian Lestari melanjutkan kalimatnya. "Mario Kukuh adalah suami yang sangat baik. Ia tak pernah berjudi, mabuk-mabukan, main serong. Ia setia, selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani. Tapi, tetap dia tidak bisa membuatku bahagia."

Tiba-tiba ada suara bertanya, "Mengapa?"

Lestari menoleh kepada sang penanya. "Karena," jawabnya, "tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri."

Lestari mengatakan, "Tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia. Baik itu pasangan hidupmu, sahabatmu, uangmu, hobimu. Semua itu tidak bisa membuatmu bahagia. Yang bisa membuat dirimu bahagia adalah dirimu sendiri.

Kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri.

Kalau kamu sering merasa berkecukupan, tidak pernah punya perasaan minder, selalu percaya diri, kamu tidak akan merasa sedih.

Sesungguhnya pola pikir kita yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.

Bahagia atau tidaknya hidupmu bukan ditentukan oleh seberapa kaya dirimu, cantik istrimu, atau sesukses apa hidupmu. Bahagia adalah pilihanmu sendiri."

beriman kepada Allah disertai dengan kesabaran dan bersyukur atas semua karunianya yang diberikannya kepada kita. Percayalah bahwa nikmat yang diterima manusia adalah kehendak Allah dan setiap ujian kepada manusia ada hikmahnya.

Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al An'aam ayat 165)

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Luqman ayat 12)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Saba' ayat 19)


Para peserta seminar membisu selama beberapa detik setelah Lestari mengakhiri kalimatnya. Sesaat kemudian, barulah ruangan itu bergemuruh oleh tepuk tangan yang panjang.

» Moral cerita: kebahagiaan itu ternyata ada di dalam diri kita masing-masing.
Baca selanjutnya »»

Jumat, 29 Oktober 2010

Akibat Berbuat Dosa

Janganlah memandang kecil kesalahan tetapi pandanglah kepada siapa yg kamu durhakai.

1. Perbuatan dosa mengakibatkan sial terhadap orang yg bukan pelakunya. Kalau dia mencelanya maka bisa terkena ujian . Kalau menggunjingnya dia berdosa dan kalau dia menyetujuinya maka seolah-olah dia ikut melakukannya. {HR.Ad-Dailami}
2. Demi yg jiwaku dalam genggamanNya. Tiada dua orang saling mengasihi lalu bertengkar dan berpisah kecuali krn akibat dosa yg dilakukan oleh salah seorang dari keduanya.
3. Celaka orang yg banyak zikrullah dgn lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dgn perbuatannya.
4. Barangsiapa mencari pujian manusia dgn bermaksiat terhadap Allah maka orang-orang yg memujinya akan berbalik mencelanya.
5. Tiada sesuatu yg dapat menolak takdir kecuali doa dan tiada yg dapat menambah umur kecuali amal kebajikan. Sesungguhnya seorang diharamkan rezeki baginya disebabkan dosa yg diperbuatnya.
6. Tiada seorang hamba ditimpa musibah baik di atasnya maupun di bawahnya melainkan sebagai akibat dosanya. Sebenarnya Allah telah memaafkan banyak dosa-dosanya. Lalu Rasulullah membacakan ayat 30 dari surat Asy Syuura yg berbunyi : Dan apa saja musibah yg menimpa kamu maka adl disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar {dari kesalahan-kesalahanmu}.
7. Apabila suatu kesalahan diperbuat di muka bumi maka orang yg melihatnya dan tidak menyukainya seolah-olah tidak hadir di tempat dan orang yg tidak melihat terjadinya perbuatan tersebut tapi rela maka seolah-olah dia melihatnya. {HR.Abu Dawud}


- Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah krn takut kepada Allah maka ia akan memperoleh keridhoan Allah.
- Jangan mengkafirkan orang yg shalat krn perbuatan dosanya meskipun mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa.
- Jangan menyiksa dgn siksaan Allah . {HR.Tirmidzi dan Al-Baihaqi}

- Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang maka dipercepat tindakan hukuman atas dosanya dan jika Allah menghendaki bagi hambanya keburukan maka disimpan dosanya sampai dia harus menebusnya pada hari kiamat.


- Apabila kamu menyaksikan pemberian Allah dari materi dunia atas perbuatan dosa menurut kehendakNya maka sesungguhnya itu adl uluran waktu dan penangguhan tempo belaka. Kemudian Rasulullah Saw membaca firman Allah Swt dalam surat Al An’am ayat 44 : Maka tatkala mereka melupakan peringatan yg telah diberikan kepada mereka Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan utk mereka sehingga apabila mereka bergembira dgn apa yg telah diberikan kepada mereka Kami siksa mereka dgn sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.


- Sayyidina Ali Ra berkata: Rasulullah menyuruh kami bila berjumpa dgn ahli maksiat agar kami berwajah masam.


- Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? Kalau aku aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya. Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yg belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan krn binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu kesulitan pangan dan kezaliman penguasa. Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yg bukan dari Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka utk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka. {HR. Ahmad dan Ibnu Majah}

- Tiada seorang berzina selagi dia mukmin tiada seorang mencuri selagi dia mukmin dan tiada seorang minum khamar pada saat minum dia mukmin.
Penjelasan: Ketika seorang berzina mencuri dan minum khamar maka pada saat itu dia bukan seorang mukmin.

- Aku beritahukan yang terbesar dari dosa-dosa besar. {Rasulullah Saw mengulangnya hingga tiga kali}. Pertama mempersekutukan Allah. Kedua durhaka terhadap orang tua dan ketiga bersaksi palsu atau berucap palsu. {Ketika itu beliau sedang berbaring kemudian duduk dan mengulangi ucapannya tiga kali sedang kami mengharap beliau berhenti mengucapkannya}.


- Rasulullah Saw melaknat orang yg mengambil riba yg menjalani riba dan kedua orang saksi mereka. Beliau bersabda: Mereka semua sama .


- Ada empat kelompok orang yg pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya Siapakah mereka itu ya Rasulullah? Beliau lalu menjawab Laki-laki yang menyerupai perempuan perempuan yg menyerupai laki-laki orang yg menyetubuhi hewan dan orang-orang yg homoseks.


- Allah menyukai keringanan-keringanan perintahNya dilaksanakan sebagaimana Dia membenci dilanggarnya laranganNya.

- Ada tiga jenis orang yg diharamkan Allah masuk surga yaitu pemabuk berat pendurhaka terhadap kedua orang tua dan orang yg merelakan kejahatan berlaku dalam keluarganya {artinya merelakan isteri atau anak perempuannya berbuat serong atau zina}.

Sumber: 1100 Hadits Terpilih - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

sumber : file chm hadistweb
Baca selanjutnya »»

Dosa itu membawa sial


Rasulullah SAW bersabda : “Dosa itu membawa sial bagi selain pelakunya. Bila ia menentangnya maka ia akan mendapat ujian penderitaan, bila ia pergunjingkan maka ia akan berdosa, dan bila ia merestuinya berarti seolah ia telah bekerjasama dalam perbuatan dosa itu” (HR. Ad-Dailami rhm, seperti diriwayatkan Anas Ibn Malik ra, dikutip oleh Imam As-Suyuthi rhm dalam kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir, Juz II hal 20).

Kemunkaran Membawa Sial Bagi Banyak Orang
Kemungkaran dalam bentuk kemaksiatan, yaitu sikap tidak taat pada perintah dan larangan Allah SWT, ternyata membawa sial bagi banyak pihak, yaitu bagi semua orang yang mengetahui / mneyaksikan / mendengar kemungkaran itu sengaja atau tidak sengaja.

Ketika seorang ahli maksiat melakukan kemaksiatan, misalnya berjudi, minum minuman keras, berzinah, atau sekedar tidak mau sholat dan durhaka pada orang tuanya, maka beberapa sikap dibawah ini pasti akan terjadi, yaitu :




1. Salah seorang yang menyaksikannya mungkin akan berdiam diri alias tak peduli karena tak mengganggu diri dan keluarganya (kita sebut orang semacam ini sebagai ahli egois).



2. Seorang yang lainnya akan mempergunjingkan dengan orang lain mengenai si ahli maksiat, hal ini mungkin karena ia kurang senang atau sekedar penasaran (kita sebut orang ini sebagai ahli gunjing).



3. Seorang lainnya lagi akan merestuinya karena menurutnya hal itu bukan dosa yang berbahaya dan wajar terjadi pada semua orang pada masa kini (kita sebut orang ini sebagai ahli pendukung kemaksiatan)



4. Seorang lainnya, merasa tidak senang dengan sikap si ahli maksiat dan ia berani menentangnya dengan menasihati secara baik-baik mengenai dosa dan larangan Allah terhadap kemaksiatan yang sedang dilakukan si ahli maksiat. Terkadang orang ini terpaksa dan berani memberi peringatan secara lebih tegas dan siap dengan resiko respon si ahli maksiat (kita sebut orang ini sebagai ahli nahi munkar). Hal ini sesuai hadits sbb, "Barangsiapa yang melihat suatu kemunkaran diantaramu, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya (kekuasaannya). Jika ia tak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman."



Jadi, untuk setiap sebuah dosa yang dilakukan seorang ahli maksiat (pendosa) maka akan menimbulkan dampak bagi orang lain dalam bentuk 4 jenis pilihan sulit yang harus dipilih orang lain yang menyaksikan / mendengar kemaksiatan tersebut.



Setiap pilihan dari 4 alternatif sikap manusia tersebut masing-masing memiliki dampak kesulitan tersendiri bagi orang lainyang mendengar atau menyaksikannya walau ia tidak ikut melakukannya atau tidak berdampak langsung baginya atau bagi keluarganya.



Perhatikan penjelasan dibawah ini bagaimana respon seorang ahli maksiat terhadap orang lain yang bersikap atas kelakuan maksiatnya :



1. Ahli egois mungkin tidak akan mendapat kesulitan dari si ahli maksiat, tapi akan memperoleh balasan Allah mungkin di dunia dan sudah pasti di akhirat, sesuai dengan pesan Rasulullah SAW sbb : "Sesungguhnya manusia jika mereka melihat orang yang berbuat zholim dan tidak mencegahnya, maka telah dekatlah azab Allah yang akan menimpa mereka seluruhnya" (HR At-Tirmidzi).



2. Ahli gunjing mungkin tidak akan mendapat kesulitan dari si ahli maksiat, tapi akan memperolehnya di akhirat akibat pergunjingannya sebagai dosa ghibah, dimana Rasulullah SAW menggambarkan ganjarannya dalam bentuk ibarat memakan bangkai saudaranya sendiri. Mencium bangkai saja sudah perkara besar apalagi memakannya, apalagi bangkai saudara sendiri yang kita sayangi.

3. Ahli pendukung kemaksiatan sudah tentu tidak mendapat kesulitan dari si ahli maksiat, tapi ia pasti akan mendapat ganjaran dosa maksimal setaraf dengan dosa si ahli maksiat walau ia tidak ikut melakukannya. Bahkan sebuah hadits mengatakan bahwa membantu ahli maksiat dengan sebaris kalimat saja sudah sama dosanya dengan si ahli maksiat.



4. Ahli nahi munkar sangat mungkin akan dibenci atau dibentak atau bahkan disakiti oleh si ahli maksiat karena si ahli maksiat merasa si ahli nahi munkar telah mengganggu dan mencampuri masalah pribadi (privacy) nya. Bisa saja anda memilih sikap tidak setuju dalam hati (ciri selemah-lemahnya iman), tapi sikap ini bisa menjadi salah dan memberi dosa bila persyaratan fardhu khifayah (untuk nahi munkar) tak terpenuhi.



Jadi jelaslah bahwa 1 (satu) kemaksiatan / kemungkaran akan melahirkan 4 (empat) macam jenis sikap manusia disekitarnya. Dan keempat-empatnya bukanlah pilihan mudah, dan bukan pilihan yang menyenangkan ! Lantas pertanyaannya, sikap apa yang akan anda pilih (anda hanya punya 4 pilihan sikap seperti tersebut diatas, tidak ada yang lain).



Wassalam,
Baca selanjutnya »»

Minggu, 24 Oktober 2010

Motivasi Kemenangan

Bila niat tlah terucap
Tanda siap bertanggung jawab

Bila perkara tlah tetap
Bersiaplah dengan hati yang mantap

Belumlah disebut taat
Bila masih melalaikan shalat

Belumlah disebut menegakkan shalat
Bila masih enggan membayar zakat

Belumlah disebut beruhul jadid
bila kaki masih berat ke masjid


Tanda engkau ikut Rasulmu
Bila ucap bersatu dalam lakumu

Tanda paham kan dunia
Laksana pengembara hidupnya

Tanda hati bisa melihat
Bila ia menangkap akhirat

Tanda orang mengenal isyarat
Tahulah ia sungguh kiamat tlah dekat

Tanda orang siap berjihad
Bila yang diminta tolong hanya Dia Yang Ahad


Carilah olehmu ilmu
Yang boleh merubah lakumu

Carilah olehmu cita
yang tidak bersandar pada manusia dan harta

Carilah olehmu cinta
yang membawamu pada Dia semata

Carilah olehmu bekal
Yang ketika di kubur tak ikut tertinggal


Sesiapa yang melihat hidup itu ujian
Pertanda ia masih punya iman

Sesiapa yang dijauhi ketenangan
Diam di masjid adalah jawaban

Sesiapa yang akrab dengan Al Quran
Tahulah ia sebenar-benar petunjuk jalan


Kebaikan ilmu bukanlah jabat pangkat hormat dan salut
Melainkan bila terhadap-Nya dirimu bertambah takut

Kebaikan harta bukanlah emas segunung Uhud
Melainkan bila dengannya engkau infaq dan zuhud


Tinggalkan kesenangan semu
Maka setan tak menjadi tamu

Tinggalkan segala ragu
Maka bertemu apa yang dituju


Ketika yang lain beda baju bertikai
Tetaplah engkau dengan baju Islam yang dipakai

Ketika banyak bendera saling berseteru
Cukuplah kalimat tauhid sebagai bendera pembaharu

Sekalipun yang tersisa hanya engkau yang satu
Cukuplah ALLAH menjadi penentu

Apabila ALLAH telah memberi restu
Langit bumi berserta isinya kan jadi pembantu

Sungguh kemenangan itu dekat
Bagi mereka yang menjaga syarat

Sungguh segala syarat tlah jelas
Tiada lain Al Quran yang mempertegas

Dan sungguh kemenangan itu adalah pasti
Untuk yang nafas kesabarannya tiada berhenti

-Gurindam “Syarat Kemenangan”-


Gurindam adalah puisi lama melayu yang mempunyai ciri tiap bait terdiri dari 2 baris dengan akhir irama yang sama. Baris pertama biasanya berupa soal atau perkara, dan baris sesudahnya adalah penjelasan dan jawaban. Bahasa dan perjuangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan.

Kisah perjuangan juga adalah kisah para pejuang dengan bahasa. Dan segala kisah perjuangan di muka bumi ini, kalaulah boleh dikatakan, para pemuda lah sebagai tintanya.

Maka gurindam ini dikhususkan untuk saudaraku para pemuda tercinta di lima benua. Para pemuda ketika yang lain sudah gelap dengan dunia, maka mereka masih menjaga diri agar hati tidak menjadi buta.

Para pemuda yang di tengah segala propaganda putus asa, justru melihat diri mereka lah asa yang tersisa. Para pemuda ketika yang lain sibuk dengan diri sendiri saja, maka kesenangan mereka adalah mendahulukan saudaranya.

Gurindam ini dikhususkan untuk para pemuda ketika ibu-ibu lain hilang peka meninggalkan putra-putrinya, maka merekalah yang berjihad mempersiapkan tentara Rabbnya. Para pemuda ketika yang lain tanpa malu memamerkan diri untuk menjadi yang tercantik di dunia, justru mereka lah wanita tercantik sedunia karena paling menjaga rasa malu dengan hijabnya.

Gurindam ini dikhususkan untuk para pemuda yang hidup bersama sirah Rasulnya, sembari mengusap air mata mengingat Junjungan Tercinta.

Para pemuda yang diancam ketakutan dan kematian oleh para musuhnya, jawaban mereka adalah surga. Para pemuda ketika yang lain sibuk dengan segala teorinya, maka mereka mencukupkan Al Quran sebagai dusturnya.

Gurindam ini dikhususkan untuk para pemuda, yang melihat masa depan dunia adalah Islam sebagai jawaban segala perkara.

Para pemuda yang melihat masa depan Din-nya adalah kejayaan dan kemenangan atas musuh-musuhnya. Dan para pemuda yang tidak pernah berbangga, karena mereka hanyalah hamba Rabbnya.
Profil penulis :

Ibnu Kahfi Bachtiar, guru di Universitas Maritim Raja Ali Haji
Baca selanjutnya »»

Selasa, 05 Oktober 2010

Diluaskan dan disempitkan rizki



فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16)
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (QS. Al Fajr: 15-16)

Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika
ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”[1]

Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)

Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”

Syukuri dan Bersabar

Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi renungan berharga.

Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.

Baca selanjutnya »»

Senin, 04 Oktober 2010

Jauhkan Zina Pikiran, Lamunan dan Khayalan

Betapa manusia modern yang sudah terjebak dalam kehidupan jahilayah, setiap harinya hidup mereka tak dapat lepas dari zina pikiran, lamunan dan khayalan, yang menyelimuti kehidupan mereka. Setiap langkah keluar rumah, dan bahkan di dalam rumah pun tak dapat melepaskan dari bahaya zina pikiran, lamunan, dan khayalan. Hakikatnya, bi'ah yang ada, dan diciptakan oleh manusia itu sendiri, sejatinya telah membawa mereka kedalam kehidupan yang kotor, akibat zina pikiran, lamunan, dan khayalan.


Siapa hari ini yang dapat menjaga dirinya dari zina pikiran, lamunan-lamunan yang tak terbatas, khayalan-khayalan, yang telah merasuk dalam jiwanya, dan menguasai seluruh relung kehidupannya, tak mampu lagi manusia, bangkit menghadapi nafsu syahwat yang telah membelenggunya. Kehidupan dunia yang serba gemerlap dengan rona, yang sangat menarik dahaga bagi manusia, yang haus akan kenikmatan dunia, maka pikirannya, lamunannya, dan khayalannya, hanya menjadi sarana pembuka syahwat, yang sudah menguasainya. Inilah kehidupan di zaman ini.

Zina pikiran, lamunan, khayalan itu, senantiasa akan terus berputar-putar di dalam hati manusia, yang tak akan ada habis-habisnya. Apalagi, kehidupan kini, yang semakin penuh dengan tawaran kenikmatan dunia, maka akan semakin mendorong manusia, terus menerus dikuasai pikiran, lamunan dan khayalannya, sampai saat datangnya kematian itu sendiri. Manusia yang sudah dirasuki pikiran, lamunan, dan khayalannya pada kenikmatan dunia, ibarat seperti orang-orang yang terus-menerus mengejar fata morgana, yang dikira akan dapat memuaskan dahaganya, ternyata itu hanyalah khayalan, karena fatamorgana itu, tak pernah berubah menjadi air yang menyejukkan tenggorokan mereka.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu ia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allahk memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (QS : an-Nuur : 39)

Pikiran kotor, lamunan, dan khayalan merupakan modal bagi orang yang bangkrut alias pailit dalam perdagangan. Kekuatan jiwa yang kosong tanpa isi, yang sudah dirasuki dengan pikiran, lamunan dan khayalan, dan tidak lagi terpaut dengan kebenaran dan kebaikan.

Lamunan sangat berbahaya bagi manusia, karena menyebabkan kelemahan, ketidakberdayaan, kemalasan, penyimpangan, penyia-penyiaan waktu, melalaikan perintah Allah, dan hanya melahirkan kepayahan dan kelelahan. Tatkala seorang pikirannya sudah dipenuhi dengan lamunan dan khayalan, maka akan kehilangan saat menikmati alam realitas. Ia akan membayangkan bentuk khayalan di dalam hatinya, ia merasa puas dengan bentuk palsu yang sifatnya fiktif, saat itu ia melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya sama sekali. Ibaratnya seperti orang yang lapar dan dahaga yang membayangkan makanan atau minuman yang lezat dengan bentuk fiktifnya. Seakan ia makan dan minum. Orang yang merasa puas dengan dunia khayalan telah menunjukkan dirinya berjiwa hina.

Hakikatnya, waktu itu, tak lain, adalah umur manusia. Jika hidupnya hanya dalam pikirannya yang penuh dengan lamunan dan khayalan, maka saatnya nanti manusia akan dihadapkan dengan realitas yang sejatinya, yaitu kehidupan akhirat.

Di mana manusia akan mendapatkan kenyataan yang sejati tentang kehidupannya. Pikiran yang selalu dibenamkan dengan lamunan dan khayalan, yang tak berujung, dan hanya diorientasikan kepada kenikmatan-kenikmatan yang sifatnya palsu, maka saat manusia tersadar dari lamunan dan khayalan, manusia hanyalah akan menderita yang sangat. Ternyata alam yang nyata, yang dihadapinya diakhirat, yang selama ini tidak pernah terbersit dalam lamunan dan khayalan menjadi sebuah kenyataan, dan ketika manusia tidak dapat lagi lari dari kenyataan itu.

Setan masuk dalam hati yang kosong dari lintasan pikiran, kemudian ia menyibukkan pemiliknya dengan hal-hal yang rendah. Tetapi manusia yang pikiran lamunan dan khayalan sudah dipenuhi dengan nafsu, menyebabkan bisikan setan yang akan membawanya kepada kehidupan yang rendah dan hina, lalu manusia mennganggapnya sebagai kemuliaan, keindahan, dan kenikmatan.

Maka, orang-orang yang berburu dengan kenikmatan palsu, keindahan yang hina, serta kesenangan sesaat, hakikatnya sudah menjadi pengikut dan budak setan. Mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang bernilai al-haq, dan mana yang bernilai bathil. Semua kenikmatan yang bersumber dari bisikan setan, memupuskan segala kebaikan yang dimilikinya.

Karena itu, orang-orang yang menempuh jalan tasawuf (arbabus suluk) mendasarkan suluk (akhlak) mereka dengan menjaga lintasan-lintasan pikiran mereka, dan senantiasa menjauhkan diri pikiran yang membawa kepada lamunan dan khayalan, yang menjerumuskan mereka ke dalam kehidupan para hamba dunia.

Belajarlah dengan Umar Ibn Khatab, yang pikirannya selalu penuh dengan pikiran-pikirannya yang hanya diarahkan untuk mencapai ridha Allah Azza Wa Jalla.

Umar shalat dengan khusuk. Tetapi, saat usai shalat, pikirannya dipenuhi dengan bagaimana mengatur tentaranya. Antara shalat dan jihad selalu tak pernah dipisahkannya.

Setan tak pernah bisa masuk dalam benaknya Umar, yang merusaknya dan mengalihkan itijah (orientasi) hidupnyag yang tulus hanya diarahkan untuk tunduk dan patuh kepada Allah semata. Walahu’alam.
sumber

Baca selanjutnya »»

Sabtu, 02 Oktober 2010

Jangan Jadi "Miss Komplain"


Pernahkah Anda menghitung berapa kali Anda mengeluh dalam satu hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jika dibuat daftarnya, bisa jadi sepanjang hari itu kita lebih banyak mengeluh dari hal-hal yang sepele di rumah sampai hal-hal yang berat di tempat kerja atau di lingkungan tempat kita tinggal.

Suatu hal yang wajar jika sesekali kita mengeluh, karena sudah menjadi kodrat manusia suka berkelu kesah seperti disebutkan dalam Surat Al-Ma'arij ayat 19-21, "Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan sifat suka mengeluh. Apabila ditimpa musibah dia mengeluh dan apabila ditimpa kesenangan berupa harta ia jadi kikir." Tapi yang sering terjadi adalah, tidak ditimpa musibah pun kita kadang sering mengeluh. Jalanan macet kita mengeluh, padahal kita tahu bahwa kemacetan adalah pemandangan sehari-hari di kota Jakarta. Pekerjaan rumah tangga menumpuk karena tidak ada pembantu, kita mengeluh. Anak rewel, kita mengeluh. Tugas di kantor bertambah, kita mengeluh. Seolah semua hal jadi bahan keluhan.

Padahal kalau ditelaah,
banyak hal-hal yang kita keluhkan hanyalah urusan dunia, karena ketidakpuasan kita terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Tapi manusia memang sudah terbiasa banyak mengeluh, hingga kadang lupa mensyukuri hal-hal yang kita anggap tidak penting padahal sangat penting. Sebut saja nikmat sehat. Pernahkah kita bersujud dan mengucap syukur dengan tulus karena Allah telah memberi nikmat sehat setiap hari sehingga kita bisa melakukan aktivitas dengan lancar. Jika pun ada hambatan, seharusnya tidak membuat kita jadi mengeluh tapi melihatnya sebagai ujian dan tantangan.

Sebagai makhluk yang lemah, setiap manusia tentu saja suatu waktu pernah mengeluh, sadar atau tidak sadar. Asalkan tidak menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi karakter yang bakal sulit dihapus dari kepribadian seseorang. Orang yang memiliki karakter suka mengeluh akan berdampak pada munculnya suasana yang tidak nyaman bagi lingkungan dan orang di sekitarnya. Pernahkah Anda berjumpa dengan orang yang tabiatnya suka mengeluh dan Anda merasakan sangat tidak nyaman bahkan jengkel berada di dekatnya.

Kita memang harus waspada dengan sifat suka mengeluh ini, jika tidak ingin sifat buruk ini menjelma menjadi bagian dari karakter. Untuk itu perlu latihan pengendalian diri agar tidak selalu melontarkan keluhan Bagaimana caranya?

1. Biasakan menyampaikan keluh kesah pada Allah semata
Ketika kita ditimpa kemalangan atau musibah, lebih baik kita menyampaikan keluh kesah dan kegundahan hati kita pada Allah Swt. Karena Dia-lah Yang Mahatahu segala persoalan dan kegundahan dalam jiwa kita. "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya," (QS Yusuf;86).

2. Kita bisa berkeluh kesah pada orang lain, hanya jika keluh kesah itu merupakan hal yang penting.
Ini mungkin berkaitan dengan upaya Anda untuk mendapatkan hak Anda, atau hak orang lain yang Anda kenal. Kadang memiliki keluhan dan menyampaikan keluhan pada orang lain itu penting, asalkan disampaikan dengan baik-baik dan tidak berlebihan.

3. Bicarakan solusi yang praktis
Daripada mengeluh tiada akhir, lebih baik memikirkan atau membicarakan solusi praktis atas permasalahan yang kita hadapi. Tidak ada masalah yang tidak bisa dicari solusinya. Jika menemui jalan buntu, mohonlah bantuan pada Allah Swt.

4. Jangan membesar-besarkan hal yang kecil
Anas bin Malik berkata, "Saya melayani Rasululullah Saw. selama dua puluh tahun dan beliau tidak pernah mengatakan 'ahh' pada saya. Dan beliau tidak pernah mengatakan apapun yang tidak saya lakukan, 'mengapa kamu tidak melakukannya?' atau apapun yang telah saya lakukan, 'mengapa engkau melakukan itu?'" (HR Muslim). Jadi biarkan saja hal-hal sepele yang tidak penting itu lenyap dan tidak lagi mengganggu pikiran kita.

5. Bicaralah tentang nikmat Allah
Daripada memilih membicarakan segala sesuatu yang salah dalam hidup Anda, pilihlah topik pembicaraan tentang hal-hal yang menyenangkan dalam hidup Anda. Dengan bersikap seperti ini, bukan hanya membantu Anda menghindar dari keluhan, tapi juga mematuhi perintah Allah untuk selalu mensyukuri nikmat Allah, "Lalu nikmat Allah manakah yang engkau dustakan?".

6. Ingatlah mereka yang kurang beruntung
Salah satu cara untuk menyentak kita kembali untuk melihat realitas dan menghargai berkah yang Allah berikan pada kita adalah mengingat mereka yang kurang beruntung dari kita.. Bacalah berita-berita tentang orang lain yang menderita di Asia, Afrika, dan seluruh dunia. Bacalah tentang kehidupan anak yatim piatu di Palestina, tentang kehidupan para tunawisma di lingkungan kita sendiri. Sesekali berinteraksilah dengan mereka dan jangan menenggelamkan diri dalam rasa putus asa, tetapi menggunakan cerita mereka sebagai alat untuk bersyukur dan bersyukur kepada Allah atas apa yang kita miliki.

7. Kurangi stres dalam hidup Anda
Kita mungkin mengeluh karena kita mengalami stres yang cukup berat dalam kehidupan ini. Anda perlu tempat untuk menyendiri. Berhentilah sejenak, carilah tempat yang tenang untuk bersantai, duduk di ruang yang gelap, tarik napas dalam-dalam selama beberapa menit, berjalan-jalan di luar rumah, mendengarkan lagu-lagu nasheed dan membaca beberapa Al Qur'an akan memberikan ketenangan bagi hati dan pikiran yang sedang tertekan.

8. Bacalah kisah-kisah dalam Sirah, catatlah bagian-bagian yang penting dan pengalaman para nabi, sahabat nabi dan generasi-generasi muslim di masa lalu, belajarlah dari pengalaman, sikap dan cara mereka menghadapi masalah.

9. Bicarakan masalah-masalah lain yang lebih penting
Misalnya hal-hal baru yang mengundang minat Anda untuk belajar, proyek-proyek untuk pekerjaan Anda atau pengalaman jalan-jalan melihat keindahan alam yang membuat Anda merenungkan keindahan ciptaan Yang Mahakuasa.

10. Ceritakan pengalaman-pengalaman lucu yang pernah Anda alami, asal bukan cerita bohong.
Ketika berkumpul bersama teman atau keluarga, akan lebih ceria jika kita mendengar cerita-cerita lucu daripada mendengar keluhan, yang mereka sendiri tidak bisa membantu memberikan jalan keluar. Ceritakanlah hal-hal ringan yang lucu dan berkesan yang pernah Anda alami, ini akan membuat suasana dan orang di sekeliling Anda lebih menyenangkan.

11. Kenali sikap suka mengeluh yang jadi kebiasaan
Perhatikanlah selalu perkataan kita dari waktu ke waktu, apakah kita merasakan bahwa mengeluh lebih merupakan kebiasaan dari suatu usaha yang berguna? Mengakui hal itu sebagai kebiasaan adalah langkah pertama yang penting untuk mulai melawan sikap suka mengeluh.

12. Cari lingkungan yang lebih baik
Apakah kita merasakan lebih banyak mengeluh jika kita berada di sekitar orang-orang tertentu? Mungkin itu karena kita tidak memiliki banyak kesamaan minat dengan orang-orang tersebut, atau karena mereka tidak tertarik untuk bersikap positif dan berterima kasih. Jika itu terjadi, maka sudah saatnya kita mencari lingkungan teman yang lebih baik.

13. Sedikit Bicara
Umumnya, jika kita sudah mencoba segala sesuatu yang kita pikirkan dan masih menemukan diri kita terlalu banyak mengeluh, mungkin itu karena kita sudah terlalu banyak bicara. Jangan biarkan setan yang mengarahkan kita untuk bicara hal-hal yang tidak berguna atau berbahaya. Pertahankanlah kelembaban lidah dengan selalu mengingat Allah. Bertobatlah kepada-Nya dan bershalawatlah atas nama Rasulullah Saw. sesering mungkin.
Baca selanjutnya »»

Jumat, 24 September 2010

Suka Membodohkan Orang, Tanda Ilmu Tak Bermanfaat


Seyogyanya kita selalu melihat ke dalam diri kita sendiri dan tidak sibuk menghakimi orang lain

Suatu saat beberapa sahabat Al Hasan Al Bashri menyebutkan beberapa definisi tawadhu’, namun beliau diam saja. Saat definisi semakin banyak disebut, beliau mengatakan,”Aku menilai kalian telah banyak menyebut apa itu tawadhu’.”

Akhirnya mereka balik bertanya, “Apa tawadhu’ itu menurut Anda?”

Al Hasan Al Bashri menjawab, “Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu seorang Muslim, kecuali mengira bahwa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.” (Az Zuhd, hal. 279)


Apa yang disebutkan Al Hasan Al Bashri mirip dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadhu’. Beliau mengetakan,”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai bahwa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan,’Ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia lebih baik dariku.’ Dan jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata,’Ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada derajat yang aku belum sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia berkata, “Ia melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’” (Maraqi Al Ubudiyah, hal. 79)

Maka seyogyanya kita selalu melihat ke dalam diri kita sendiri dan tidak sibuk menghakimi orang lain, karena disamping bisa jadi sebenarnya mereka lebih baik dari kita, hal demikian bisa menimbulkan sifat ujub.

Sebab itulah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan,” Jika seorang laki-laki berkata ‘manusia telah celaka’, maka ialah yang paling celaka.” (Riwayat Muslim)

Imam Al Khattabi menjelaskan bahwa kemungkinan orang yang mengatakan demikian menimbulkan sifat ujub kepada dirinya dan menilai bahwa pada manusia sudah tidak terdapat sifat kebaikan. Dan merasa bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Maka pada hakikatnya, orang ini telah celaka. (lihat, Al Adzkar, hal. 574)

Imam Malik pun berpendapat bahwa kalau pelakunya mengatakan hal demikian karena ujub dan meremehkan manusia terhadap dien mereka, maka itu hal yang dibenci dan yang terlarang. Namun jika mengatakannya karena merasa prihatin, maka hal itu tidak mengapa. (lihat, Al Adzkar, hal. 575)

Tanda-tanda Ilmu Bermanfaat

Salah satu hal yang menyebabkan seseorang rawan kehilangan sifat tawadhu’nya adalah ilmu yang dimiliki. Karena merasa memiliki ilmu, terkadang seseorang dengan mudah membodoh-bodohkan manusia. Sebab itulah Al Hafidz Ibnu Rajab dalam karya beliau, Fadhl Ilmi As Salaf ala Ilmi Al Khalaf, memberi penekanan khusus tentang hal ini.



Beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu tidak bermanfaat adalah, seseorang tidak memiliki kesibukan kecuali takabbur dengan ilmunya di hadapan manusia. Dan menunjukkan kelebihan ilmunya kepada mereka. Serta merendahkan meraka, untuk meninggikan posisinya terhadap mereka. Ini merupakah hal yang terburuk dan paling menjijikkan dari yang diperoleh. Bisa jadi ia menisbatkan para ulama sebelumnya sebagai dengan kebodohan, kelalaian dan kealphaan.”

Kemudian beliau mengatakan, ”Adapun tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah suudzan terhadap diri sendiri dan husnudzan terhadap para ulama sebelumnya. Mengakui dalam hati dan jiwa terhadap kelebihan para ulama sebelum mereka dibanding dirinya dan ketidakmampuannya menyamai posisi mereka untuk sampai atau mendekati derajat mereka.” (lihat, Shafhat min Shabri Al Ulama, hal. 378)

Mudah-mudahan kita semua dianugerahi sifat-sifat tawadhu’ dan dijauhkan dari sifat-sifat tercela seperti kibr dan ujub, hingga tercatat sebagai dalam golongan orang-orang yang ilmunya bermanfaat.
Baca selanjutnya »»

Jumat, 17 September 2010

SAKIT DAN MUSIBAH ADALAH PENGHAPUS DOSA BAGI SEORANG MUSLIM




Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmati kita semua- telah menjadi ketetapan dari Allah Azza wa Jalla bahwa setiap manusia pasti pernah mengalami sakit dan musibah selama hidupnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).


Sakit dan musibah yang menimpa seorang mukmin mengandung hikmah yang merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Imam Ibnul Qayyim berkata : “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan inipun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini”. (Syifa-ul Alil fi Masail Qadha wal Qadar wa Hikmah wa Ta’lil hal 452).

Dalam menyikapi sakit dan musibah tersebut, berikut ini ada beberapa prinsip yang harus menjadi pegangan seorang muslim :


1. Sakit dan Musibah adalah Takdir Allah Azza wa Jalla

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Hadid : 22).

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah” (QS. At-Taghaabun : 11).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”. (HR. Muslim no. 2653).

2. Sakit dan Musibah Adalah Penghapus Dosa

Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Acapkali kita mendengar manusia ketika ditimpa sakit dan musibah malah mencaci maki, berkeluh kesah, bahkan yang lebih parah meratapi nasib dan berburuk sangka dengan takdir Allah. Nauzubillah, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan semacam itu. Padahal apabila mereka mengetahui hikmah dibalik semua itu, maka -insya Allah- sakit dan musibah terasa ringan disebabkan banyaknya rahmat dan kasih sayang dari Allah Ta’ala.

Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”.

(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).

“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).

“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).

“Bencana senantiasa menimpa orang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya”.

(HR. Tirmidzi no. 2399, Ahmad II/450, Al-Hakim I/346 dan IV/314, Ibnu Hibban no. 697, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 576).

“Sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji hamba-Nya dengan penyakit, sehingga ia menghapuskan setiap dosa darinya”.

(HR. Al-Hakim I/348, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Shohih Jami’is Shoghir no.1870).

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. (HR. Muslim no. 2572).

“Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api neraka”. (HR. Al-Bazzar, dishohihkan Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash Shohihah no. 1821).

“Janganlah kamu mencaci-maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi”. (HR. Muslim no. 2575).

Walaupun demikian, apabila seorang mukmin ditimpa suatu penyakit tidaklah meniadakan usaha (ikhtiar) untuk berobat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam bersabda : “Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR. Bukhari no. 5678). Dan yang perlu diperhatikan dalam berobat ini adalah menghindarkan dari cara-cara yang dilarang agama seperti mendatangi dukun, paranormal, ‘orang pintar’, dan sebangsanya yang acapkali dikemas dengan label ‘pengobatan alternatif’. Selain itu dalam berobat juga tidak diperbolehkan memakai benda-benda yang haram seperti darah, khamr, bangkai dan sebagainya karena telah ada larangannya dari Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam yang bersabda :

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”. (HR. Ad Daulabi dalam al-Kuna, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Silsilah al Hadiits ash- Shohihah no. 1633).

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang haram”.

(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban no. 1397. Dihasankan oleh Syeikh Albani dalam kitab Mawaaridizh Zham-aan no. 1172).

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa-apa yang diharamkan atas kalian”. (HR. Bukhari, di-maushulkan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Kabiir, berkata Ibnu Hajar : ‘sanadnya shohih’, Fathul Baari : X/78-79).

3. Wajib Bersabar dan Ridho Apabila Ditimpa Sakit dan Musibah

Apabila sakit dan musibah telah menimpa, maka seorang mukmin haruslah sabar dan ridho terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, dan harapkanlah pahala serta dihapuskannya dosa-dosanya sebagai ganjaran dari musibah yang menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ”. (QS. Al-Baqaroh : 155-157).

Dalam beberapa hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga”.

(HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).

Maksud hadis diatas yakni apabila seorang hamba ridho dengan musibah yang menimpanya maka Allah ridho memberikan pahala kepadanya dengan surga.

“Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah akan berkata kepada malaikat-Nya : ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?. Para Malaikat menjawab : ‘Ya, benar’. Lalu Dia bertanya lagi : ‘Apakah kalian mengambil buah hatinya?’. Malaikat menjawab : ‘Ya’. Kemudian Dia berkata : ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku itu?’. Malaikat menjawab ‘Ia memanjatkan pujian kepada-Mu dan mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un). Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Bangunkan untuk hamba-Ku sebuah rumah di surga dan namai dengan (nama) Baitul Hamd (rumah pujian)’.” (HR Tirmidzi no.1021, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi no. 814)

“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas) di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia kemudian ia bersabar atas kehilangan orang kesayangannya itu melainkan surga”. (HR. Bukhari).

“Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : ‘Jika Aku menguji hamba-Ku dengan dua hal yang dicintainya (yakni menjadikan seorang hamba kehilangan dua penglihatannya/buta) lalu ia bersabar maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga”. (HR. Bukhari).

Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah menyukai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. (HR. Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, dihasankan Syeikh Albani dalam Shohih Sunan Tirmidzi II/286).

Hikmah lainnya dari sakit dan musibah adalah menyadarkan seorang hamba yang tadinya lalai dan jauh dari mengingat Allah -karena tertipu oleh kesehatan badan dan sibuk mengurus harta- untuk kembali mengingat Robb-nya. Karena jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah barulah ia merasakan kehinaan, kelemahan, teringat akan dosa-dosa, dan ketidakmampuannya di hadapan Allah Ta’ala, sehingga ia kembali kepada Allah dengan penyesalan, kepasrahan, memohon ampunan dan berdoa kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. Al-An’aam : 42).

Sakit dan musibah merupakan pintu yang akan membukakan kesadaran seorang hamba bahwasanya ia sangat membutuhkan Allah Azza wa Jalla. Tidak sesaatpun melainkan ia butuh kepada-Nya, sehingga ia akan selalu tergantung kepada Robb-nya. Dan pada akhirnya ia akan senantiasa mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ibadah, doa, hidup dan matinya, hanyalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Baca selanjutnya »»

Jumat, 07 Mei 2010

Berbohong karena Maslahat Organisasi

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz Sigit, langsung saja saya ingin menanyakan tentang perbuatan berbohong atau melakukan kebohongan. Bolehkan kita melakukan kebohongan?

Apabila kita mendapati bahwa seorang pemimpin kelompok melakukan kebohongan, bolehkah kita keluar dari kelompok tersebut? Karena saya akhir-akhir ini merasa resah terhadap kelompok yang saya ikuti tersebut, terus terang saya secara pribadi merasa kuatir terkena hukum "ikut mendukung kebathilan" jika terus mengikuti kelompok tersebut. Apalagi pemimpin kelompok yang saya ikuti itu pernah berkata dan berpendapat, bahwa berbohong itu boleh asalkan untuk kebaikan (kemaslahatan) kelompok.

Demikian, atas jawaban dari ustadz, saya ucapkan jazakumullah khoiron katsir. wassalam.

Abi Zaid - Jakarta
Jawaban


Waalaikumusalam Wr Wb

Saudara Abi Zaid yang dimuliakan Allah swt

Berbohong adalah akhlak tercela yang tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk berdakwah kepada Allah swt. Terdapat berbagai nash yang mencela sifat bohong ini, diantaranya firman Allah swt :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Al Mukmin : 28)

Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya kejujuran adalah perbuatan baik dan sesungguhnya perbuatan baik menunjukkan kepada surga. Sesungguhnya seorang hamba yang berusaha untuk jujur sehingga dituliskan sebagai seorang yang jujur di sisi Allah swt. dan sesungguhnya berbohong adalah kejahatan dan sesungguhnya kejahatan menunjukkan kepada neraka dan sesungguhnya seorang hamba yang berusaha untuk berbohong sehingga dituliskan sebagai pendusta (di sisi Allah).” (Muttafaq Alaih dan lafazh dari Imam Muslim)

Ummul Mukminin, Aisyah berkata,”Tidaklah satu akhlak yang paling dibenci oleh Rasulullah daripada berbohong. Ada seorang lelaki yang berbicara dekat Nabi saw dengan berbohong dan berbohong itu senantiasa ada didalam dirinya sehingga beliau saw mengetahui bahwa orang itu telah menunjukkan pertaubatan.” (HR. Tirmidzi dan dihasankannya juga Ahmad yang telah dishahihkan oleh al Al Bani)

Dan orang yang pertama untuk berusaha berbuat jujur dan menjauhi kebohongan adalah para da’i yang menyeru kepada Allah swt yang menjadi contoh bagi umat….

Berbohong seluruhnya diharamkan kecuali dalam hal-hal yang telah dikecualikan oleh syara’, seperti didalam sabda Rasulullah saw,”Tidak dihalalkan berbohong kecuali dalam tiga hal : perkataan seorang suami kepada istrinya demi menyenangkannya, berbohong didalam peperangan dan berbohong untuk mendamaikan manusia.” (HR. Tirmidzi dan dihasankannya)

Dari Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah berkata,”Aku tidak mendengar Rasulullah saw memberikan rukhshah (keringanan) sedikitpun dalam hal berbohong kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah bersabda,’Aku tidak menganggapnya sebuah kebohongan, yaitu : seorang lelaki yang mendamaikan antara manusia yang mengatakan suatu perkataan dan tidaklah dia menginginkan darinya kecuali perdamaian. Seorang lelaki yang mengatakannya didalam peperangan dan seorang lelaki yang mengatakannya kepada istrinya dan istri yang mengatakannya kepada suaminya.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh al Albani) –(www.islamweb.net)

Sesungguhnya islam tidaklah mengenal istilah mencapai tujuan dengan segala cara dan islam juga tidak dibolehkan menggunakan cara-cara yang diharamkan syariat untuk mencapai tujuan yang baik menurut syariat.

Ibnul Qoyyim didalam kitabnya “Ighotsah al Lahfan” mengatakan bahwa sesungguhnya yang diharamkan adalah mencapai tujuan-tujuan yang disyariatkan melalui cara-cara yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang berarti orang itu telah menipu Allah swt dan Rasul-Nya dan memperdaya agamanya, membuat makar terhadap syariatnya. Sesungguhnya tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang diharamkan Allah swt dan Rasul-Nya dengan cara tipu daya seperti itu dan menghilangkan apa-apa yang diwajibkan Allah (kepadanya) dengan cara tipu daya itu.” (Ighotsah al Lahfan juz I hal 388)

Dan jika saja berbohong itu dibolehkan untuk kemaslahatan da’wah atau jama’ah tentulah Rasulullah saw akan melakukannya padahal betapa besar ujian dan cobaan yang dihadapinya dan generasi pertama islam didalam menyebarkan da’wah islam dan mengajak manusia ke jalan-Nya.

Jadi perkataan bahwa kebohongan dibolehkan untuk kemaslahatan da’wah atau kelompok adalah perkataan yang keliru atau tidak benar serta tidak memiliki landasan syar’i.

sumber

Wallahu A’lam
Baca selanjutnya »»

Hukum Mengghibahi Non Muslim

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustad Sigit yang dirahmati Allah SWT, saya mau menanyakan hukumnya, apabila kita ghibah tentang orang lain yang non muslim? Apakah tetap berdosa seperti halnya kita ghibah tentang orang lain sesama muslim?

Adi
Jawaban


Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Adi yang dimuliakan Allah swt.

1. Bahwa diantara akhlak seorang muslim adalah tidak keluar kata-kata yang menyakitkan dari lisannya, sebagaimana sabda Nabi saw,”Tidaklah beriman orang yang menghujat, melaknat, mengatakan kalimat keji dan menyakitkan.” (HR. at Tirmidzi, dia mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib dan dishahihkan oleh al Albani) dan barangsiapa yang banyak melakukan sesuatu maka hal itu akan menjadi kebiasaan baginya, untuk itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhi berbagi pintu keburukan secara keseluruhan, dan barangsiapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka bisa jadi ia akan jatuh juga kedalamnya.

2. Jika pertanyaan anda adalah tentang ghibah terhadap orang-orang kafir dengan menyebutkan aib-aib fisiknya, seperti panjang hidungnya atau lebar mulutnya atau sejenisnya maka janganlah anda lakukan karena hal itu termasuk ke dalam penghinaan terhadap ciptaan Allah swt. akan tetapi jika ghibah yang dimaksudkan adalah menyebutkan akhlak-akhlak buruknya yang ditampakannya, seperti : berzina, kejahatan, minum khomr atau memperingati dari perbuatan itu maka hal itu tidaklah mengapa.

Berikut perkataan beberapa ulama tentang hal ini :

Zarkasyi al Anshoriy berkata,”Ghibah terhadap rorang kafir adalah diharamkan jika orang kafir itu termasuk kafir dzimmiy(orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang Islam) karena perbuatan tersebut dapat membuatnya lari dari kewajiban membayar jizyah dan akan meninggalkan kewajibannya sebagai ahli dzimmah, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang memperdengarkan (kalimat menyakitkan) terhadap seorang dzimmiy maka berhak atas orang itu neraka.” (HR. Ibnu Hibban didalam shahihnya)

Akan tetapi jika orang itu termasuk kafir harbiy maka diperbolehkan ghibah, berdasarkan sabda Rasulullah saw yang memerintahkan Hasan untuk menghinakan orang-orang musyrik. (Asna al Mathalib beserta catatan pinggirnya juz III hal 116)

Ahmad bin Hajar bin al Haitsamiy didalam “az Zawajir ‘an Iqtiraf al Kaba’ir” juz II hal 27 menyebutkan bahwa al Ghazali perna ditanya didalam fatwanya tentang ghibah orang kafir. Lalu dia menjawab bahw ghibah terhadap hak seorang muslim maka dilarang karena tiga alasan : menyakitinya, merendahkan ciptaan Allah maka sesungguhnya Allah yang menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya dan membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.’ Dia mengatakan bahwa yang pertama ini menjadikannya haram, yang kedua makruh dan yang ketiga melanggar keutaman.

Adapun terhadap kafir dzimmiy maka ia seperti orang muslim yang tidak boleh disakiti karena islam melindungi kehormatan, daah dan hartanya. Dia berkata bahwa yang pertama adalah benar. Diriwayatkan dari Ibnu Hibban didalam shahihnya bahwa Nabi saw bersabda,” Barangsiapa yang memperdengarkan (ghibah) terhadap seorang dzimmiy atau Nasrani maka baginya neraka.” Makna’ memperdengarkan adalah memperdengarkan apa-apa yang menyakitinya…

Al Ghazaliy mengatakan bahwa terhadap kafir harbiy (orang kafir yang memerangi Islam )maka tidaklah seperti kafir dzimmiy maka untuk yang pertama tidaklah diharamkan, yang kedua dan ketiga dimakruhkan. Adapun orang yang berbuat bid’ah jika ia kafir maka ia seperti kafir harbiy dan jika tidak kafir maka ia seperti muslim.

Adapun menyebutkan perbuatan bid’ahnya maka hal itu tidaklah makruh. Ibnu al Mundzir tentang sabda Rasulullah saw,”Penyebutanmu terhadap saudaramu tentang apa-apa yang tidak disukainya.” Adalah dalil bahwa orang yang tidak termasuk kedalam saudaramu adalah orang Yahudi, Nasrani, pemeluk agama (selain islam) atau orang pembuat bid’ah yang mengeluarkannya kepada agama selain islam maka hal itu bukanlah ghibah baginya.” (Fatawa as Islam Sual wa Jawab juz I hal 50

Wallahu A’lam
sumber
Baca selanjutnya »»

Suuzhon terhadap Non Muslim

Ass.wrwb

Ust. Sigit yg dirahmatin Allah SWT,

Bagaimana ustad, hukum klu kita suuzhon terhadap non muslim, apakah sama seperti gibah.. atau bagimana.. mohon penjelasannya ustad..

Jazkllh.

wassalam.

Umi Hulwah
Jawaban


Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Umi Hulwah yang dimuliakan Allah swt

Islam melarang setiap umatnya berburuk sangka terhadap saudaranya sesama muslim yang termasuk orang-orang baik dan shaleh dan memerintahkan kepadanya untuk berbaik sangka. Perbuatan berburuk sangka (suuzzhon) dapat merenggangkan persaudaraan diantara mereka, meredupkan cahaya ukhuwah islamiyah hingga dapat menghilangkan kekuatan kaum muslimin. Firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ


Artiya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.” (QS. Al Hujurat : 12)

Sabda Rasulullah saw,”Waspadalah kalian dengan prasangka. Sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Muslim)

Imam Ghazali mengatakan,”Sebab diharamkannya suuzzhon adalah bahwa rahasia-rahasia hati tidaklah ada yang mengetahuinya kecuali Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Dan sesungguhnya kamu tidaklah berhak untuk meyakini suatu keburukan terhadap orang lain kecuali jika keburukan tersebut tampak dihadapan kedua matamu yang tidak memungkinkan adanya penakwilan lain serta tidak memungkinkan bagimu kecuali untuk meyakini apa yang kamu ketahui dan saksikan itu. Sedangkan apa yang tidak kamu saksikan dengan kedua matamu dan tidak kamu dengar dengan telingamu kemudian terdapat didalam hatimu keyakinan buruk itu maka sesungguhnya setanlah yang membisikannya maka seharusnya engkau mendustainya sesungguhnya setan adalah makhluk yang paling fasik. Firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.” (QS. Al Hujurat : 6)

Adapun berburuk sangka terhadap orang-orang fasik atau para pelaku keburukan maka tidaklah dilarang, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Dia mengatakan bahwa Allah melarang seorang mukmin berprasangka terhadap seorang mukmin lainnya kecuali kebaikan. Adapun seorang yang fasik dan melakukan kejahatan secara terang-terangan, seperti seorang yang mabuk secara terang-terangan atau berkawan dengan para perempuan jahat maka dibolehkan berburuk sangka terhadapnya.

Dari pendapat Ibnu Abbas diatas dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan berburuk sangka terhadap orang-orang kafir sebagai bentuk kewaspadaan terhadap perbuatan jahatnya dan menghindari tipu dayanya. Hal itu dikarenakan bahwa tidak ada suatu kejahatan atau keburukan yang lebih besar daripada kekufuran atau pengingkaran seseorang terhadap Allah swt Robbul Alamin.

(baca : Hukum Mengghibahi Non Muslim)

Wallahu A’lam
sumber
Baca selanjutnya »»

Meninggalkan Shalat Jum'at karena Pekerjaan

ustadz sigit pranowo. lc al-hafidz
Assalaamu'alaikum

bagaimana hukumnya jika seorang laki-laki meninggalkan shalat jum'at dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan karena belum waktunya istirahat/belum ada orang yang datang menggantikan pekerjaannya....

ukhti di jakarta
Jawaban


Waalaikumussalam Wr Wb

Pada dasarnya melaksanakan shalat jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim berdasarkan firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah : 9)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda tentang orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at dengan mengatakan,”Sebenarnya aku berniat memerintahkan seseorang untuk menjadi imam shalat bersama masyarakat dan aku pergi membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at itu.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh dan Ibnu Umar bahwa keduanya pernah mendengar Nabi saw bersabda diatas mimbar bersabda,”Hendaklah orang-orang itu menghentikan perbuatan meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan mengunci hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim)

Namun demikian apabila terdapat uzur syar’i seperti orang yang bertanggung jawab langsung terhadap pekerjaannya yang manakala ditinggalkan untuk shalat jum’at maka dapat mendatangkan mudharat atau bahaya bagi dirinya maupun orang lain dikarenakan belum ada orang yang datang menggantikan tugasnya itu atau belum waktunya istirahat maka dibolehkan baginya untuk tidak melaksanakan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur berdasarkan keumuman firman Allah swt :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Thaghabun : 16)

Akan tetapi jika temannya yang akan menggantikan tugasnya itu telah datang dan shalat jum’at masih ditegakkan di masjid maka diharuskan baginya untuk berangkat shalat jum’at walaupun hanya tersisa shalatnya saja bersama imam.

(baca : Shalat Jum’at bagi Penjaga Gardu Listrik)
sumber
Wallahu A’lam
Baca selanjutnya »»

Jumat, 16 April 2010

Amal Jama'i Bersama Ahli Dzikir


oleh Ustadz Saiful Islam Mubarak

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS.18:28)


Ayat tersebut mengingatkan kaum muslimi akan hakikat kemenangan bahwa kemenangan yang harus diperjuangkan bukankan kemenangan harta, kedudukan atau limpahan materi. Kemenangan yang hakiki adalah kemenangan akidah tauhid atas syirik, kemenangan iman atas kufur, kemenangan taat kepada Allah atas taat kepada manusia, kemenangan hak atas kebatilan.

Secara historis taujih rabbani tersebut ditujukan kepada hamba pilihan yang terpelihara dari dosa dan bersih dari kesalahan. Muhammad saw. Jika Raulullah saw saja diingatkan untuk bersabar dalam membela agama Allah, sesungguhnya...
yang sangat memerlukan taujih ini adalah kita sebagai umatnya.

Ketika para pembesar Quraisy tampil di hadapan Rasulullah saw dan mengharapkan beliau menyediakan waktu khusus untuk mereka. Ketika itu, Rasulullah saw berbisik dalam hatinya untuk memanfaatkan kesempatan tersebut demi kepentingan dakwah, sebab dengan dukungan para pembesar, apa yang sedang beliau dan para sahabat perjuangkan bisa mudah tercapai, kucuran dana, keamanan politik, popularitas mereka dan fasilitas-fasilitas yang lainnya.

Namun ternyata, bisikan tersebut mendapat teguran langsung dari Allah. Artinya sebaik-baik ijtihad manusia tanpa disertai bimbingan ilahi akan membawa kepada kerugian.

Allah swt lewat ayat di atas memerintahkan Rasulullah saw untuk menahan diri dari berbagai keinginan yang, tidak diragukan sangat bermanfaat bagi kepentingan umat dan kemenangan dakwah, yaitu menerima permintaan para pembesar Quraisy untuk bersama-sama membangun Negara Madinah.

Di samping itu, beliau tidak mungkin terjebak dalam permainan politik dan termakan konspirasi mereka jika mereka melakukannya.

Namun demikian, taujih rabbani tersebut turun untuk mengingatkan beliau agar tidak mengikuti keinginan tersebut, sebab kemenangan akidah tidak dapat diraih dengan kedudukan atau kekayaan. Beliau malah diperintah untuk tetap bersama para sahabatnya yang senantiasa berdzikir dan
bertaqarrub kepada Allah, walau secara strata ekonomi dan status sosial lebih rendah daripada pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah saw
adalah seorang hamba yang paling dikabulkan setiap doanya.

Dalam diktum ilahi tersebut, beliau diperintah untuk tetap bersama orang-orang yang selalu berdoa agar tetap sabar dalam mengahadapi ujian yang manis. Jika tingkat Rasulullah saw saja diperintah untuk selalu bersama para sahabatnya dalam segala aspek kehidupan, apakah kita diperbolehkan mengharapkan kemenangan Islam dengan memanfaatkan kedudukan seorang pejabat atau dengan mengharapkan kucuran dana, dengan dalih bahwa memperjuangkan Islam perlu dana dan fasilitas yang banyak?

Ayat di atas mengingatkan kepada kita bahwa kemenangan yang sebenarnya bisa diraih oleh mereka yang selalu berdzikir, taqarrub kepada Allah, dan akrab dengan ayat-ayatNya. Kemenangan dalam AlQuran tidak pernah mengutamakan jabatan atau harta.

Dan, kemenangan sama sekali tidak dapat diukur dengan kemenangan politik sebab kemenangan politik, kadang dapat membawa keburukan. Kemenangan politik baru akan berbuah menjadi kemenangan hakiki (dakwah) jika para politisinya selalu berada di tengah-tengah umat yang berjuang hanya mencari ridha Allah, hanya ketika para politisinya bukan orang-orang yang lalai.

Karena jika mereka lalai hidupnya mengikuti tuntutan hawa nafsu, akan berpandangan sempit dan dangkal karena lebih mementingkan kenikmatan sesaat daripada kehidupan akhirat, sibuk berusaha mati-matian untuk mendapat kekayaan dan kedudukan duniawi sesaat.

Islam tidak akan tegak kecuali dengan tampilnya orang-orang shalih yang senantiasa dekat dengan Allah dan bergerak melakukan amal jamai (teamwork) bersama ahli dzikir. Wallahu'alam
Baca selanjutnya »»

Kamis, 15 April 2010

Mental Budak, Bencananya Dibawa Mati

Kekerdilan jiwa inilah yang menjadikan manusia memilih hidup sebagai budak daripada majikan

KAUM mustadh’afin di mana-mana nasibnya mengenaskan. Tidak saja sekarang ketika manusia hanya dinilai dari segi materi, tapi sejak dulu ketika kekuasaan di tangan para raja dan diktator.

Golongan tertindas ini adalah mereka yang hidup di dunia dalam keadaan sempit. Mereka gantungkan nasibnya kepada orang lain yang dianggapnya bisa memberi perlindungan, kehidupan dan keselamatan. Mereka serahkan agamanya, ideologinya, aspirasi politiknya, saluran hobinya kepada orang lain.

Orang lain itu bisa berupa individu atau kelompok yang sedang berkuasa, bos yang kaya raya, pemimpin yang kharismatis, sistem kekuasaan yang otoriter, atau apa saja yang dianggap
mampu memberikan kehidupan, mulai dari soal rejeki, keamanan, harga diri, dan sebagainya.

Musthad’afin adalah golongan manusia yang bermental kerdil. Mereka memandang dirinya terlalu lemah untuk bisa mandiri. Karenanya mereka memilih hidup bergantung kepada orang lain. Golongan ini tak ubahnya seperti sapi yang menyerahkan diri untuk dicocok hidungnya. Mereka mau berbuat atau melakukan apa saja, sesuai dengan kemauan majikannya. Mereka tetap tunduk pada pemerintah majikannya walaupun perbuatan itu bertentangan dengan hati nuraninya. Mereka mampu meredam gejolak jiwanya demi pengabdiannya kepada majikan.

Mereka ini tidak beragama, kecuali sekadar mengikuti agama tuannya. Mereka tidak mempunyai ideologi, kecuali mengikuti ideologi tuannya. Mereka tidak berpartai, kecuali mengikuti partai pilihan majikannya. Bukan karena mereka tidak mempunyai pendirian, tapi itulah karakter mereka. Itulah jati diri mereka yang sebenarnya.

Bagi mereka dunia itu terasa sempit. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti orang yang kepadanya mereka bergantung. Memilih yang lain, bagi mereka hampir sama dengan bunuh diri. Dunia ini, dalam pandangannya tidak memberi dua, tiga, atau sekian banyak alternatif. Yang ada hanya satu, bahwa dunia adalah pengabdian kepada yang sedang berkuasa.

Musttadh’afin di semua kurun waktu selalu ada, tidak pernah absen dalam menghiasi populasi dunia. Dari segi jumlah, mereka selalu mayoritas. Merekalah makanan empuk bagi para mutraf, para penggede negara. Di saat kampanye mereka dijadikan komoditi yang layak dijual, pada pemilu mereka diperebutkan, dan pada pasca pemilu mereka kembali dicampakkan.

Nasib buruknya di dunia tidak berakhir semasa hidupnya saja, tapi berlanjut ketika mereka di akhirat. Sangat disayangkan, kesengsaraan itu dibawa sampai menghadap Tuhan. Sebelum bertemu dengan-Nya, terlebih dahulu malaikat menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Rekaman pertanyaan itu dikutip al-Qur’an sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, adalah kami orang-orang yang tertindas di bumi. ‘Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa: 97)

Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini bukan untuk dikuasai, tapi justru menguasai. Manusia adalah khalifah, subyek di muka bumi. Karenanya tidak layak bagi manusia untuk ditentukan orang lain hidupnya. Mereka harus bisa menentukan dirinya sendiri, mengatur, dan memastikan arah serta jalan hidupnya sendiri.

Agar manusia dapat menjadi subyek, pelaku dan penentu, Allah swt telah melengkapi mereka dengan perangkat yang cukup. Bentuk fisik yang sempurna, akal sehat, dan hati nurani. Tidak hanya itu, alam seluruhnya ditundukkan Allah agar mau melayani kebutuhan manusia.

Tidak ada yang kurang bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri sebagai khalifah.

Yang menjadikan mereka tertindas, menjadi obyek yang ditentukan orang lain, adalah karena kekerdilan jiwanya. Mereka kerdil memandang potensinya. Kurang yakin terhadap karunia yang diberikan Allah kepadanya. Mereka takut mencoba sesuatu yang baru. Apa yang diterimanya sudah dianggap sebagai jatahnya. Sementara jatahnya yang lain, yang jumlahnya jauh lebih besar tidak dilirik dan dimanfaatkannya.

Kekerdilan jiwa inilah yang menjadikan mereka memilih hidup sebagai budak daripada majikan. Itulah pilihan yang paling mudah, sebab tanpa risiko, tanpa beban tanggung jawab, tanpa harus menghadapi tantangan. Bagi mereka “menggaruk” itu lebih mudah daripada “menggeleng”.

Jiwa yang kerdil mengantarkan manusia pada sikap takut. Takut menghadapi realitas, takut menghadapi kehidupan, takut menghadapi tantangan dan ancaman, takut menghadapi perubahan, takut kepada kekuasaan, takut kepada orang.

Alam pikiran dan perasaannya telah diselimuti ketakutan yang luar biasa. Lebih disayangkan lagi bahwa mereka bukan takut kepada yang menciptakan ketakutan, tapi kepada manusia yang sama-sama mempunyai rasa takut, sedikit ataupun banyak. Sayang, mereka tidak takut kepada Allah yang menciptakan kehidupan, membuat perubahan, menentukan jatah rejeki dan mendistribusikannya sesuai dengan kemauan-Nya.

Karenanya, Allah menasihati kita agar takut hanya kepada-Nya saja. Jangan sampai kita terjebak perasaan takut kepada manusia, sebab manusia tidak bisa memberi rasa aman sedikit pun. Allah berfirman:

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maaidah: 44)

Sebagai khalifah hendaknya kita menghindar rasa takut kepada manusia. Betapapun besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, mereka tetap manusia. Jika anggota Dewan tidak ada yang menurunkan kekuasaannya, Allah sendiri yang akan bertindak dengan caranya sendiri. Paling mudah adalah mencabut kesehatannya. Jika masih belum cukup, bila perlu mencabut nyawanya, Apa susahnya?

Seberapa pun besar kekuasaan manusia, ia tidak akan pernah mampu menguasai diri kita sepenuhnya. Bisa saja mereka memenjarakan fisik kita, tapi apakah mereka bisa memenjarakan hati dan jiwa kita? Bisa saja mereka memaksa fisik kita berbuat ini dan itu, tapi hati kita siapa yang bisa menguasainya?

Bilal bin Rabah adalah contoh monumental yang diabadikan sejarah. Meskipun oleh majikannya ia disiksa dengan amat sadisnya, ia tetap menguasai dirinya. Secara fisik ia adalah budak majikannya, tapi jiwanya merdeka. Terik padang pasir yang memanggang kulitnya, batu besar yang menindih tubuhnya, cemeti yang menghajarnya, tetap tak bisa mengubah pendiriannya. Ia tetap berkata: Ahad, ahad, ahad.

Secara fisik Bilal adalah mustadh’afin, orang yang tertindas, tapi secara aqidah ia adalah manusia merdeka. Ia mampu membebaskan jiwanya dari belenggu majikannya walaupun secara fisik ketika itu ia menjadi budaknya. Bilal memang seorang budak, tapi memiliki jiwa merdeka. Sebaliknya, banyak orang yang secara fisik merdeka, tapi bermental budak. Mereka yang disebut terakhir itu termasuk mustadh’afin dalam aqidah.

Mustadh’afin jenis terakhir ini semakin banyak saja jumlahnya. Penampilan fisiknya bisa saja sangat meyakinkan. Pakaiannya parlente, bersepatu mengkilap dan berdasi, tapi sikap mentalnya jauh dari kemandirian. Tidak independen dalam menyalurkan aspirasi politiknya, tidak bebas dalam menentukan pilihan hidup. Dalam kesehariannya, ia mengambil sikap “apa kata bapak”. Yang baik bagi bapak, itu pula yang baik bagi saya. Pilihan bapak, itu juga pilihan saya.

Biasanya, orang bersikap demikian karena faktor ekonomi. Seseorang yang ekonominya bergantung kepada orang lain, cenderung bersikap dependen, tergantung, rela atau terpaksa, ia tunduk kepada orang lain. Untuk itu, Allah menganjurkan kepada kita agar melepaskan ketergantungan soal rezeki itu pada seseorang atau pada sekelompok orang. Jadilah orang yang mandiri dalam mencari rezeki. Dengan kemandirian itu kita dapat merdeka dalam bersikap, bebas dalam menentukan pilihan, dan tidak terikat dengan berbagai ketentuan yang bertentangan dengan hati nurani.

Lebih dari itu adalah sikap mental kita. Dalam soal rezeki, misalnya, kita harus yakin bahwa pemilik segala kekayaan ini adalah Allah. Dialah yang memberi jatah kepada makhluk-Nya, dan mendistribusikan secara adil sesuai dengan kemauan-Nya. Keyakinan ini tidak boleh hanya berhenti di hati, tidak cukup hanya diucapkan, tapi harus dibarengi dengan usaha keras untuk mendapatkannya. Bukan disebut yakin jika hanya berdiam diri tanpa bekerja. Baru disebut yakin, jika seseorang berupaya keras untuk mendapatkannya.

Dalam mengais rezeki Allah ini juga ada sunnatullahnya. Artinya, Allah menentukan hukum-hukum ekonomi secara paten dan pasti. Siapa yang mengetahui dan menerapkan hukum itu, ada jaminan untuk mendapatkannya. Sunnatullah ini tak peduli mengenai siapa saja, muslim atau kafir terkena hukum-Nya.

Terakhir, ada baiknya jika kita simak hadits qudsi di bawah ini, “Allah telah berfirman kepada Daud, ‘Demi keagungan-Ku, setiap hamba yang menggantungkan diri kepada-Ku tanpa bergantung kepada makhluk-Ku (yang Kuketahui dari niatnya), lalu ia ditipu oleh siapapun yang ada di langit dan bumi, niscaya Aku beri jalan keluar dari tipu muslihat itu. Adapun setiap hamba yang menggantungkan diri kepada makhluk tanpa bergantung kepada-Ku (yang Ku-ketahui melalui niatnya), niscaya Aku putuskan sumber rezekinya dari langit serta Aku tetapkan kehancurannya. Dan setiap hamba yang taat kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkaruniakannya sebelum meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkanuriakannya sebelum meminta kepada-Ku, serta mengabulkan keinginannya sebelum berdo’a kepada-Ku, dan mengampuninya sebelum minta ampun kepada-Ku.” (HR. Ibnu Asakir dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik).
Baca selanjutnya »»

Lantunan ayat-ayat suci Al'Quran

Listen to Quran